KORELASI ANTARA NILAI PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU PEDAGANG DALAM PENGGUNAAN BORAKS PADA TAHU DI PASAR TRADISIONAL SE-KOTA MATARAM

Surya Meka Novita Sari, Arfi Syamsun, Lina Nurbaiti

 

 

Latar Belakang: Tahu adalah salah satu makanan yang paling sering ditambahkan dengan boraks. Boraks adalah antiseptik yang sering digunakan pada produk kayu atau tekstil, namun berbahaya bagi tubuh jika ditambahkan ke makanan. Hari-hari ini kami sering menemukan boraks sebagai bahan makanan tambahan. Tingginya jumlah boraks yang digunakan dalam makanan mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang bahan ini. Para produsen makanan berasumsi bahwa penambahan boraks dapat membuat makanan bertahan lebih lama dan lebih menarik. Dengan demikian, pengetahuan yang cukup tentang boraks dan pengaruhnya pada tubuh saat ditambahkan ke dalam makanan sesuai kebutuhan.

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur korelasi antara pengetahuan dan penggunaan boraks dalam tahu di pasar tradisional, kota Mataram.

Metode: Ini adalah penelitian observasional menggunakan metode cross-secctional. Sampel untuk penelitian ini adalah 52 penjual tahu di pasar tradisional di kota Mataram. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner dan wawancara terstruktur. Data dianalisis menggunakan analisis bivariat dengan uji korelasi Spearman.

Hasil: Hasil analisis bivariat Spearman menunjukkan bahwa p = 0,000 (p <0,05) dan r = 0,710 yang berarti bahwa ada korelasi yang positif (+) kuat. Terdapat 44,23% responden dengan pengetahuan baik, 55,76% responden dengan pengetahuan sedang dan tidak ada responden yang memiliki pengetahuan buruk tentang boraks. Adapun perilaku, 82,69% memiliki perilaku baik, sedangkan 17,31% memiliki perilaku sedang dan tidak ada yang berperilaku buruk.

Kesimpulan: Ada korelasi antara pengetahuan dan perilaku penjual tentang penggunaan boraks dalam tahu. Semakin tinggi pengetahuan tentang boraks dan bahayanya ketika digunakan dalam makanan, semakin baik perilaku penjual, untuk tidak menambahkan boraks ke dalam tahu.

 

Kata Kunci: Pengetahuan, Perilaku, Borax, Tahu


ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN KNOWLEDGE AND THE SELLER�S BEHAVIOR ABOUT THE USAGE OF BORAX IN TOFU IN TRADITIONAL MARKET, MATARAM CITY

Surya Meka Novita Sari, Arfi Syamsun, Lina Nurbaiti

 

Background: Tofu is one of the most often food to be added with borax. Borax is an antiseptic often used in wood products or textile, yet dangerous for the body if added to the food. These days we often found borax as the additional food ingredients. The high number of borax use in the food may be cause by the lack of knowledge about this ingredient. The food producers assumed that the addition of borax can make the food last longer and more appealing. Thus, sufficient knowledge about borax and its effect on the body when added into the food as needed.

Objective: The objective of this study was to measure the correlations between knowledge and the usage of borax in tofu in traditional market, Mataram city.

Methode: This was an observational study using cross-secctional method. The samples for this study were 52 tofu sellers in traditional market in Mataram city. Data was collected using a questionnaire and structured interview. Data wereanalyzed using bivariate analysis by Spearman�s correlation test.

Results: The result of Spearman�s bivariate analysis showed that p = 0.000 (p<0.05) and r = 0.710 which means that there was a positive (+) strong correlation. There were 44.23% respondents with good knowledge, 55.76% respondents with moderate knowledge and none of the respondent had bad knowledge about borax. As for the behavior, 82.69% had good behavior, while 17.31% had moderate behavior and none with bad behavior.

Conclusion: There is a correlation between knowledge and the seller�s behavior about the usage of borax in tofu. The higher the knowledge about borax and its danger when used in food, the better the behavior of sellers, to not add borax into the tofu.

Keywords: Knowledge, Behavior, Borax, Tofu


 

Pendahuluan


Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan selain bahan baku utama yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau karakteristik pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi BTP dapat ditambahkan pada proses produksi, pengemasan, transportasi atau penyimpanan1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168 tahun 1999 menjelaskan tentang BTP yang dilarang penggunaannya di Indonesia, salahsatunya adalahasam borat dan senyawanya. Boraks merupakan bahan antiseptik yang digunakan sebagai bahan pengawet pada kayu, dan tekstil. Efek boraks sebagai zat pengawet membuat boraks sering disalahgunakan oleh produsen makanan2.

Adapun salah satu makanan yang biasanya ditambahkan boraks adalah tahu3.Tahu merupakan jenis makanan dengan kandungan gizi tinggi namun memiliki masa penyimpanan yang tidak lama, yaitu sekitar 1-2 hari4. Hal tersebut menjadi dasar penggunaan boraks pada tahu. Para produsen menganggap penggunaan boraks untuk mengawetkan makanan dapat mengurangi tingkat kerusakan produk makanan sehingga akan memperpanjang umur penyimpanan3. Penggunaan boraks dalam jumlah yang sedikit pun dapat membuat makanan menjadi lebih legit, lebih tahan lama dan terasa enak di mulut5.

Boraks yang yang terakumulasi dalam jumlah sedikit tidak dapat dilihat efek sampingnya secara langsung. Efek samping akan terlihat saat kadarnya dalam darah sudah tinggi. Boraks dengan cepat diabsopsi dalam saluran cerna, kulit dan terhirup melalui hidung kemudian akan terakumulasi dalam hati, otak dan testis6. Adapun gejala yang dapat ditimbulkan adalah terganggunya motilitas usus, mulut kering, mual, muntah, kejang, kerusakan ginjal, kerusakan hati, depresi dan kematian5.

Tingginya perilaku masyarakat dalam menggunakan boraks pada makanan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat boraks3.Penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa boraks masih digunakan sebagai BTP pada makanan, yaitu semua sampel penelitian yang dilakukan di Ambarawa positif mengandung boraks7.

Survey yang dilakukan oleh BPOM pada makanan yang dijual di pasar menunjukkan 25 dari 82 sampel yang diuji positif mengandung rhodamin B, boraks, tidak memiliki izin edar dan sudah kadaluarsa. Data dari BPOM RI menyebutkan bahwa beberapa sampel makanan tersebut didapatkan di Mataram NTB8. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti tentang korelasi antara nilai pengetahuan dengan perilaku pedagang dalam penggunaan boraks pada tahu di pasar tradisional se- Kota Mataram.

Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain penelitian cross sectional9. Penelitian ini dilakukan dengan memberikankuesioner serta melakukan wawancara terstruktur dengan responden, yaitu pedagang makanan di pasar tradisional se-Kota Mataram, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini dilaksanakan di pasar tradisionalse-Kota Mataram. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2015.

Sampel dalam penelitian ini adalahpedagang tahu yang terdapat di pasar yang berada di Kota Mataram yang memenuhi kriteria inklusi penelitian, yaitu 52 orang. Sampel penelitian diambil dengan metode consecutive sampling10. Pasar dibagi menjadi 2 kategori, yaitu pasar besar dan pasar kecil berdasarkan omset pendapatan per tahun. Penentuan sampel pedagang yang ditentukan tiap pasar, tiap pasar besar akan diambil 5 sampel dan pasar kecil akan diambil 3 sampel. Adapun tehnik analisa data menggunakan uji korelasi Spearman�s11.

Hasil

Kota mataram merupakan salah satu kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat. Terdapat 17 pasar tradisional di Kota mataram. Adapun pasar-pasar tersebut dibedakan menjadi 2, yaitu pasar besar dan pasar kecil. Pasarbesar yaitupasar Mandalika, pasar Kebon Roek, pasar Cakra, pasar Dasan Agung, dan pasar Pagesangan. Sedangkan pasar kecil adalah pasar Abian Tubuh, pasar Pagutan, pasar Perumnas Kekalik, pasar Ampenan, pasar Rembiga, pasar Sindu, pasar Sayang-Sayang, pasar Karang Sukun, pasar Karang Medain, pasar Karang lelede, pasar karang Seraya dan pasar Cemara.

Karakteristik Responden

Berikut merupakan karakteristik responden, yaitu:

Keterangan

Frekuensi (orang)

Presentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

15

28,84

Perempuan

37

51,92

Rentang usia (tahun)

<20

1

1,92

21-30

10

19,2

31-40

13

25

41-50

16

30,7

51-60

8

15,3

>60

4

7,69

Pendidikan terakhir

Tidak sekolah

19

36,53

Tidak tamat SD

4

7,69

Tamat SD

7

13,46

Tamat SMP

14

26,92

Tamat SMA

11

21,15

Perguruan tinggi

0

0

Distribusi tahu

Buatan sendiri

8

15,38

Abian tubuh

10

19,23

Kekalik

26

50

Gerisak

6

11,53

Buatan lain

2

3.84

Berdasarkan tabel terlihat bahwa sebagian besar responden adalah perempuan. Adapun berdasarkan usia, sebagian besar berada pada rentang usia 41-50 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar responden tidak sekolah. Sedangkan berdasarkan distribusi asal tahu, sebagian besar mengambil tahu dari produsen yang ada di kekalik namun terdapat 15,38% responden yang memproduksi tahu sendiri.

Informasi dan Sumber Informasi Responden

Adapun informasi dan sumber informasi yang didapatkan oleh responden adalah:

Keterangan

Frekuensi

Presentase

Riwayat diberikan penyuluhan

Pernah

25

48,07

Tidak

27

51,92

Sumber informasi

TV

51

57,95

Radio

5

5,68

Koran

4

4,54

Pamflet

0

0

Petugas BPOM

17

19,31

Tetangga

2

2,27

Dinas Kesehatan

6

6,81

LSM

1

1,13

Mahasiswa Kesehatan

2

2,27

Informasi yang didapatkan responden

Bahaya penggunaan boraks pada makanan

39

53,42

Jenis BTP

8

10,95

Cara produksi tahu

4

5,47

Cara mengawetkan tahu

1

1,36

Takaran BTP

1

1,36

Larangan penggunaan boraks

3

4,10

Ciri-ciri tahu mengandung boraks

17

23,28

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa 48,07% responden pernah mendapatkan penyuluhan dan 51,92% belum pernah mendapatkan penyuluhan. Adapun sumber informasi lain, sebagian besar responden mendapatkan informasi tentang boraks dari TV. Sedangkan informasi yang didapatkan, sebagian besar responden mendapatkan informasi tentang bahaya penggunaan boraks pada makanan.

Pembahasan

Tingkat Pengetahuan Responden

Adapun tingkat pengetahuan responden adalah

No.

Kategori Pengetahuan

Jumlah

%

1.

Baik

23

44,23

2.

Sedang

29

55,76

3.

Buruk

0

0

 

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa secara umum responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Tingkat pengetahuanresponden yang sudah baik ini sangat berbeda tingkat pendidikan responden tersebut. Sebagian besar dari responden tersebut memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tersebut12. Dalam penelitian penulis, hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan teori yang ada. Hal ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah usia. Usia adalah indikator umum tentang gambaran pengalaman, perkembangan proses berpikir serta waktu yang dimiliki oleh seseorang untuk memperoleh suatu informasi13. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden berada dalam rentang usia yang matang sehingga memungkinkan responden untuk memperoleh lebih banyak informasi tentang boraks.

Selain tingkat pendidikan, usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Semakin tua usia seseorang maka pengalaman dan waktu yang dimiliki oleh seseorang tersebut untuk memperoleh informasi akan lebih banyak, sehingga tingkat pengetahuannya pun semakin tinggi.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sugiyatmi memiliki hasil yang tidak sesuai dengan hasil penelitian penulis14. Dalam penelitian tersebut, sebagian besar responden (64,6%) memiliki tingkat pengetahuan yang rendah tentang bahaya boraks dan pewarna terlarang dan tidak ada yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik14. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Pendidikan merupakan suatu proses untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang15. Oleh karena itu, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Rendahnya tingkat pengetahuan responden pada penelitian ini sangat berbeda dengan hasil yang didapatkan pada penelitian penulis, meskipun pada penelitian ini tingkat pendidikan dan usia hampir sama dengan penelitian tersebut. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang, yaitu informasi dan sumber informasi.

Sumber informasi dan riwayat penyuluhan merupakan suatu hal yang penting dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang. Sehingga walaupun tingkat pendidikan sebagian besar responden rendah, namun dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi dan informasi membuat pedagang semakin mudah untuk memperoleh informasi kesehatan termasuk tentang bahaya penggunaan boraks pada tahu dan makanan lainnya. Hasil penelitian penulis didapatkan tidak ada responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang. Hal tersebut disebabkan oleh sudah banyaknya sumber informasi mengenai boraks yang mereka terima, diantaranya dari TV, radio, koran, majalah, petugas kesehatan dan tetangga. Pengetahuan responden tentang boraks lebih banyak didapatkan melalui media massa. Berdasarkan hasil penelitian ini, sebagian besar responden (57,95%) memperoleh informasi dari TV. Siaran TV pada umumnya bersifat informatif, edukatif dan hiburan. Sehingga dengan menonton TV, masyarakat dapat mengetahui informasi tentang boraks dan lainnya dari seluruh penjuru dunia. Berdasarkan hasil penelitian juga diketahui bahwa selain TV, sumber informasi yang tidak kalah penting adalah media massa seperti Koran. Media tersebut juga merupakan media yang sangat informatif, murah dan mudah didapatkan, sehingga responden dapat lebih cepat memperoleh informasi.

Hasil wawancara penulis menunjukkan bahwa hampir sebagian dari responden pernah mendapatkan penyuluhan tentang bahaya boraks dan zat berbahaya lain dalam makanan. Penyuluhan tersebut sebagian besar diadakan oleh BPOM Provinsi NTB dan dinas kesehatan Kota Mataram kepada produsen tahu. Salah satu pasar yang terletak di Kecamatan Mataram bahkan melakukan penyuluhan dan memberikan informasi tentang larangan penggunaan boraks dan bahan terlarang lainnya serta bahayanya pada tubuh secara rutin kepada seluruh pedagang dan pembeli di pasar tersebut. Sebagian besar responden mengatakan telah memperoleh informasi tentang bahaya dan larangan penggunaan boraks pada makanan serta ciri-ciri dari tahu yang mengandung boraks. Informasi yang didapatkan tersebut menyebabkan responden mengetahui secara umum tentang bahaya dan ciri-ciri tahu yang mengandung boraks. Hal tersebut yang menyebabkan tingkat pengetahuan responden pada penelitian penulis menjadi lebih baik.

Tingkat Perilaku Responden

Adapun tingkat perilaku responden adalah:

No.

Kategori Pengetahuan

Jumlah

%

1.

Baik

43

82,69

2.

Sedang

9

17,31

3.

Buruk

0

0

 

������������ Hasil pengukuran tingkat perilaku pedagang yang tercantum dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden (82,31%) memiliki perilaku yang baik dan tidak ada responden yang memiliki perilaku yang buruk. Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku responden secara umum sudah baik. Perilaku baik responden ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan responden yang tinggi. Pengetahuan merupakan suatu hal yang penting untuk membentuk suatu perilaku seseorang. Setelah memiliki pengetahuan tentang suatu hal tertentu, seseorang akan dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam perilaku mereka. Kaitannya dengan penelitian ini adalah apabila responden memiliki pengetahuan yang baik tentang boraks dan bahayanya bila digunakan pada tahu maka responden tidak akan menggunakan boraks pada saat pembuatan maupun pengawetan tahu yang mereka jual. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka semakin baik pula perilaku seseorang tersebut.

������������ Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Sugiyatmi dan Habsah14,6. Dalam penelitian Sugiyatmi sebagian besar responden (66,7%) memiliki perilaku yang buruk14. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan responden serta peran dari pihak yang berperan dalam pengawasan keamanan pangan. Dalam penelitian ini, sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, responden tidak mengetahui bahwa penggunaan boraks pada makanan dilarang dan berbahaya, serta tidak adanya penyuluhan maupun pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh petugas BPOM, dinas kesehatan, dan pemerintah setempat. Oleh karena itu, responden akhirnya menggunakan boraks pada makanan yang mereka jual. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Habsah didapatkan lebih dari sebagian sampel yang diambil dari responden (57%) mengandung boraks6. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup baik. Buruknya perilaku responden tersebut disebabkan juga oleh kurangnya informasi tentang boraks serta rendahnya pengawasan pangan oleh pihak terkait. Selain itu, makanan yang dijual oleh responden seringkali tidak habis dalam 1 hari. Sebagian besar responden mengolah kembali makanan sisa tersebut untuk dapat dijual keesokan harinya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan responden cenderung menggunakan boraks.

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor 12, yaitu faktor predisposisi dalam hal ini terkait dengan usia, tingkat pendidikan dan pengetahuan pedagang; faktor pendukung yaitu sarana prasarana yang mendukung terjadinya suatu perilaku. Dalam hal ini, sarana prasarana tersebut adalah sumber informasi dan penyuluhan yang dilakukan oleh BPOM dan Dinas Kesehatan; serta faktor penguat, dalam hal ini termasuk petugas kesehatan yang melakukan razia bahan makanan. Faktor-faktor tersebut dapat membentuk suatu perilaku yang baik, sehingga seseorang takut untuk menggunakan boraks ataupun bahan tambahan pangan terlarang lain pada makanan mereka.

Dalam kaitannya dengan perilaku pedagang tahu, ketiga faktor ini sangat mempengaruhi perilaku dari pedagang tahu. Adanya sumber informasi tentang bahaya boraks pada makanan yang mudah didapatkan oleh pedagang, penyuluhan yang dilakukan oleh BPOM, Dinas Kesehatan Kota Mataram, mahasiswa kesehatan, serta sharing informasi antar produsen tahu, serta dilakukannya pengawasan keamanan yang dilakukan oleh petugas BPOM membentuk sebuah perilaku positif yaitu tidak menggunakan boraks pada saat pembuatan atau pengawetan tahu dan tidak menjual tahu yang mengandung boraks.

Adapun dalam hasil penelitian penulis, sebagian kecil responden (7,69%) mengatakan bahwa mereka tidak selalu memperhatikan karakteristik tahu yang mereka jual. Sebagian responden mengaku menjual tahu yang memiliki karakteristik yang agak padat maupun kenyal atau sedikit lunak. Perbedaan dari karakteristik tahu tersebut bukan mengindikasikan adanya penggunaan boraks pada tahu yang mereka jual. Hasil wawancara dengan responden didapatkan bahwa perbedaan karakteristik tersebut disebabkan oleh perbedaan konsentrasi air garam dalam tahu serta metode pengawetan tahu responden.

Tingginya kadar air dan garam pada tahu sangat mempengaruhi karakteristik dari tahu tersebut4. Tahu yang memiliki kadar air garam yang tinggi akan memiliki kadar air yang lebih tinggi sehingga tekstur tahu menjadi lebih kenyal dan lunak, sedangkan tahu dengan kadar air garam yang sedikit akan memiliki kadar air yang lebih sedikit sehingga memiliki tekstur yang agak keras. Selain dipengaruhi oleh kadar air garam dalam tahu, tekstur tahu juga dipengaruhi oleh proses pengawetan tahu dengan cara direbus atau dihangatkan kembali16. Hasil wawancara didapatkan informasi bahwa sebagian besar responden mengawetkan tahu dengan cara dihangatkan atau direbus kembali. Pengawetan tahu dengan cara direbus atau dihangatkan kembali membuat konsistensi tahu menjadi lebih keras dan padat. Salah seorang responden dengan initial pak S yang berjualan di salah satu pasar di Kecamatan Mataram mengatakan bahwa keras atau kenyalnya tahu tergantung pada banyaknya air garam yang digunakan serta seberapa sering dilakukan perebusan ulang pada tahu.

Tidak adanya pencemaran boraks pada tahu yang dijual responden juga dipertegas dengan jawaban responden. Seluruh responden menjawab mereka tidak menggunakan boraks pada saat pembuatan atau pengawetan tahu serta mereka menolak untuk menggunakan pengawet buatan pada tahu yang mereka jual. Pernyataan tersebut mempertegas bahwa perilaku pedagang tahu di pasar tradisional se-Kota Mataram sudah baik dan tidak ada pedagang tahu yang menggunakan boraks meskipun karakteristik tahu yang dijual oleh masing-masing pedagang tahu berbeda.


 

Korelasi antara Nilai Pengetahuan dengan Perilaku Responden

Adapun hasil uji korelasi didapatkan:

 

Pengetahuan

Perilaku

Sig. (2-tailed)

.000

.000

Correlation Coefficient

.710**

.710**

 

������������ Berdasarkan hasil analisis korelatif didapatkkan hasil yang bermakna. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji korelasi Spearman�s yaitu nilai P = 0.000 antara pengetahuan dengan perilaku penggunaan boraks pada tahu dankekuatan korelasi yang kuat R = 0.710 dengan arah korelasi yang positif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin baik pengetahuan pedagang tahu tentang boraks maka semakin baik pula perilaku pedagang tersebut sehingga pedagang tersebut tidak menambahkan boraks pada tahu mereka.

������������ Pengetahuan adalah faktor internal yang dimiliki seseorang yang mempengaruhi perilaku seseorang tersebut15. Ketika akan melakukan suatu tindakan atau perilaku, seseorang akan bertindak sesuai dengan pengetahuannya terhadap suatu objek tersebut12. Pengetahuan tersebut akan menyebabkan seseorang mampu menilai apakah suatu tindakan tertentu baik atau buruk untuk dilakukan. Sehingga apabila pedagang tahu memiliki pengetahuan yang baik tentang boraks dan bahayanya apabila digunakan pada makanan, maka pedagang tahu tersebut tidak akan menambahkan boraks sebagai bahan pengawet maupun pengenyal pada tahu yangmereka jual.

������������ Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sugiyatmi, Sri yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan pembuat jajanan tentang boraks dengan terjadinya pencemaran bahan toksik boraks14. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa semakin tinggi pengetahuan responden maka tingkat pencemaran bahan toksik boraks semakin rendah. Sebaliknya apabila semakin rendah pengetahuan responden maka semakin tinggi tingkat pencemaran bahan toksik boraks. Adanya kesamaan hasil penelitian ini disebabkan oleh keterkaitan antara pengetahuan dengan perilaku. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang. Tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku13. Oleh karena itu,semakin tinggi pengetahuan seseorang maka semakin baik pula perilaku seseorang tersebut.

������������ Adapun dalam penelitian Habsah, didapatkan hasil yang tidak sesuai dengan penelitian penulis6. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku seseorang. Dalam penelitian tersebut sebagian besar tingkat pengetahuan responden dalam kategori sedang, sedangkan perilaku responden buruk. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu responden tidak memiliki informasi yang mudah didapatkan terkait dengan boraks serta kurangnya penegasan bahwa boraks dilarang penggunaannya pada makanan oleh petugas yang menangani masalah keamanan pangan. Sehingga responden masih menggunakan boraks pada makanan. Untuk membentuk suatu perilaku yang baik, diperlukan suatu faktor pendukung atau kondisi yang dapat membuat seseorang untuk tidak melakukan perilaku yang buruk selain dari tingkat pengetahuannya. Salah satu dari faktor pendukung atau kondisi pendukung tersebut adalah disediakannya pamflet-pamflet yang mudah dipahami oleh masyarakat, penyuluhan pada penjual makanan maupun konsumen, serta adanya pengawasan ketat yang dilakukan secara rutin oleh BPOM, dinas kesehatan, maupun pemerintah setempat.

������������ Pembentukan suatu perilaku seseorang memang bersifat multifaktorial. Namun salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku seseorang adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Hasil penelitian penulis, menunjukkan bahwa seseorang memiliki pengetahuan tentang boraks, maka seseorang tersebut tidak akan menggunakan boraks pada tahu yang mereka jual. Adapun adanya faktor-faktor selain dari pengetahuan pedagang, merupakan faktor-faktor yang dapat mendukung dan memperkuat suatu perilaku tersebut sehingga perilaku seseorang akan semakin sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki.

������������ Adapun kelemahan dari penelitian ini adalah data yang didapatkan bersifat subjektif sehingga hasil yang didapatkan sangat tergantung pada kejujuran responden serta peneliti tidak bisa mengetahui secara pasti apakah perilaku responden benar-benar sudah sesuai karena tidak disertai dengan pengamatan perilaku responden secara langsung.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu terdapat korelasi yang bermakna antara pengetahuan dan perilaku pedagang tahu dengan arah korelasi yang positif, artinya semakin baik pengetahuan pedagang maka semakin baik pula perilaku pedagang tersebut.


 

Daftar pustaka

1.      Permenkes. Lampiran I Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 722/Menkes/Per/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Kantor Pemerintah Indonesia: Jakarta, Avaible at: http://rulebook-jica.ekon.go.id/pdfs/070_722_MENKES_PER_IX_1988_i_Lamp1%265.pdf. (Akses: 16 Maret, 2015) . 1988

2.      Cahyadi, W. Analisis dan Apek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara: Jakarta. 2008

3.      Sartono. Racun & Keracunan. Widya Medica: Jakarta. 2001

4.      Tasu�ah, S. Cara Mudah Membuat Tahu & Tempe. Panca Anugrah Sakti: Jakarta. 2007

5.      Alsuhendra & Ridawanti. Bahan Toksik dalam Makanan. PT Remaja Rosdakarya: Bandung. 2013

6.      Habsah. Gambaran Pengetahuan Pedagang Mi Basah Terhadap Perilaku Penambahan Boraks dan Formalin pada Mi Basah di Kantin-Kantin Universitas X Depok Tahun 2012. FK UI: Jakarta. Available at : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20318465-S-PDF-Habsah.pdf (Accesed : 19 Februari, 2015) . 2012

7.      Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Alfabeta: Bandung . 2008

8.      Badan POM. Serentak Menjaga Keamanan dan Mutu Pangan Selama Ramadhan�. Warta POM, Vol. 11 (Juli-Agustus); pp: 1-6. 2013

9.      Dahlan, M. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat. Salemba Medika: Jakarta. 2010

10.  Dahlan, S. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Salemba Medika: Jakarta. 2010

11.  Notoadmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:PT Rineka Cipta. 2005

12.  Notoatmodjo, S. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT RINEKA CIPTA: Jakarta, pp. 118-145. 2003

13.  Notoatmodjo, S. Ilmu dan Seni Kesehatan Masyarakat. PT Rineka Cipta: Jakarta, pp. 106-162.2007

14.  Sugiyatmi, S. Analisis Faktor-faktor Risiko Pencemaran Bahan Toksik Boraks dan Pewarna pada Makanan Jajanan Tradisional yang Dijual di Pasar-pasar Kota Semarang Tahun 2006. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro: Semarang, Available at http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://eprints.undip.ac.id/15326/ (Akses: 1 Juni, 2015) . 2006

15.  Notoatmodjo, S. Teori dan Aplikasi Promosi Kesehatan. PT Rineka Cipta: Jakarta, pp. 43-64. 2005

16.  Nurjanah, N. Membuat Tofu, tahu, tempe, dan oncom. Pustaka Bunda. 2007