PENGARUH
PEMBERIAN EKSTRAK ALKALOID SPONS
LAUT (Clathria sp.) TERHADAP KADAR
SGOT/SGPT MENCIT BALB/C YANG DIINFEKSI PLASMODIUM
BERGHEI
(THE
INFLUENCE OF MARINE SPONGE ALKALOID EXTRACT ADMINISTRATION TO SGOT/SGPT LEVEL
IN PLASMODIUM BERGHEI-INFECTED BALB/C MICE)
Ardiansyah1, E Hagni Wardoyo2, Yunita Sabrina2
1
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
2 Departemen Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram
Abstract
Background: The high
prevalence of malaria caused by several factors, including the increasing of
resistance to present antimalarial drugs. Resistance to chloroquine and
sulphadoxine/pyrimethamine encourage researchers to find a new antiplasmodial
agent, including from marine biotas. Clathria sp sponge is one of the marine
biota that previously known containing alkaloid which has an antiplasmodial
activity.
Objective: The objective of this study was to evaluate the
influence of marine sponge alkaloid extract administration (Clathria sp) to
SGOT/SGPT level of Plasmodium berghei-infected Balb/C mice
Methode: This research was an experimental study using Post Test Only
Control Group Design. As much as 30 Balb/C mice were infected by P. berghei and
randomized into 6 groups: 4 groups were given alkaloid extract at dose between
50-200 mg/kgBW and named as P1-P4 respectively and 2 control groups were treated
with aquadest 5ml (K-) and chloroquine 5mg/kgBW (K+). All groups were given
using sondage for 7 days. In the last day, mice were killed by ether and blood
sample was obtained intracardiacly. The data were analyzed using Oneway-Anova
and continued using LSD post hoc test if necessary.
Result: There was significant difference (p <0.05) between treatment and
control group. The significancy level was p=0,000 (p<0,05) in SGOT and
p=0,035 (p<0,05) in SGPT using Oneway-Anova test. Post-Hoc test
showed that only P4 group that has a significant difference (p=0,004) with
control group in SGOT and only P2 group that has a significat difference
(p=0,009) in SGPT.
Conclusion: There is an influence between the administration of
alkaloid extract of marine sponge to SGOT/SGPT level of Plasmodium
berghei-infected Balb/C mice.
Keywords: marine
sponge, Clathria sp, SGOT, SGPT, malaria
Abstrak
Latar Belakang: Tingginya prevalensi malaria disebabkan karena beberapa
faktor. Salah satunya adalah peningkatan resistensi obat antimalaria konvensional,
seperti klorokuin dan sulfadoksin/pirimetamin sehingga mendorong peneliti untuk
mencari bahan antiplasmodium baru, khususnya menggunakan biota laut yang
memiliki potensi tinggi untuk diteliti secara berkelanjutan. Spons Clathria sp adalah salah satu biota laut
yang mengandung senyawa alkaloid yang memiliki aktivitas antiplasmodium.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria
sp terhadap kadar SGOT/SGPTpada mencit Balb/C yang terinfeksi Plasmodium berghei.
Metode: Penelitian
eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design Sejumlah 30 ekor mencit jantan galur Balb/C diinfeksi
dengan plasmodium berghei secara intraperitoneal. Sampel kemudian diagi menjadi
6 kelompok; 4 kelompok diberi ekstrak alkaloid Clathria sp dengan dosis masing-masing 50, 100, 150, 200mg/kgBB, 2
kelompok lainnya diberikan akuades 5ml (K-) dan klorokuin 5mg/kgBB selama 7
hari. Kemudian pada hari terakhir dilakukan pengambilan darah secara
intrakardial untuk pemeriksaan SGOT/SGPT. Data yang diperoleh dianalisis dengan
uji Oneway-Anova dilanjutkan dengan uji Post-Hoc LSD
Hasil: Hasil analisa statistik SGOT dan SGPT menunjukan adanya perbedaan yang
bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan nilai
signifikansi sebesar p=0,000 (p<0,05) dan p=0,035 (p<0,05) pada SGPT
Kesimpulan: Terdapat pengaruh pemberian
ekstrak alkaloid Spons laut Clathria sp
terhadap kadar SGOT/SGPT mencit yang Balb/C yang diinfeksi Plasmodium berghei
Kata Kunci: Spons, Clathria sp, SGOT, SGPT, malaria
Pendahuluan
Malaria
merupakan
salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan
setiap tahun terjadi 300-500 juta kasus baru malaria di dunia, paling banyak di
Afrika, Asia, Amerika Selatan. Sedikitnya, 1 juta orang meninggal akibat
penyakit ini1.
Malaria merupakan salah satu penyakit
yang berakibat fatal, khususnya pada daerah tropis dan endemis, termasuk Indonesia. Pada
tahun 2007 tercatat bahwa 80% kabupaten/kota di Indonesia adalah daerah endemis
malaria sementara pada tahun 2008, tercatat 1.624.930 kasus malaria. Menurut
WHO pada tahun 2010, Indonesia menyumbang sekitar 224 ribu dari 24 juta kasus
malaria sedunia serta menyebabkan sekitar 425 kematian dari 325 ribu kematian akibat
malaria di seluruh dunia 2,3
Malaria disebabkan oleh
protozoa yang disebut plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis Anopheles. Dari ke empat spesies yang
biasanya menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium
vivax.2 Malaria menginfeksi manusia melalui plasmodium dalam
stadium sporozoit. Sporozoit yang masuk ke dalam darah terikat pada sel hati
melalui reseptor thrombospoin dan properdin. Di dalam sel hati, beberapa
sporozoit menjadi matang dan membentuk schizont jaringan. Schizont jaringan
akan meningkatkan derajat infeksi melalui produksi merozoit dengan jumlah yang
banyak. Kemudian merozoit menginfeksi sel hepar dan menyebabkan kerusakan sel
hepar. Kerusakan sel hepar dapat ditandai dengan pengeluaran enzim hepar, yaitu
SGOT dan SGPT.4
Program pemberantasan penyakit
malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab dan dilanjutkan dengan
melakukan pengobatan kepada penderita yang terbukti positif melalui uji
laboratorium.5 Namun kendala dalam memberikan pengobatan malaria
saat ini adalah terjadinya resistensi malaria terhadap obat antimalaria konvensional.
Resistensi obat merupakan salah satu faktor
terjadinya peningkatan insidensi penyakit malaria. Dilaporkan dalam 10 tahun terakhir bahwa
resistensi malaria terhadap obat lama (klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin dan
kina) terjadi di lebih dari 25% provinsi di Indonesia.6 Cepatnya
penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang digunakan selama ini
merupakan tantangan yang serius dalam pengendalian penyakit malaria. Bahkan
semua provinsi di Indonesia telah melaporkan kejadian resistensi beberapa obat
antimalaria, termasuk klorokuin.3
Berdasarkan laporan resistensi
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menemukan obat-obat baru yang
dapat digunakan dalam pengobatan malaria, terutama dengan memanfaatkan kekayaan
tanaman obat yang tersebar di wilayah Nusantara. Khasiat sebagian obat-obat
tradisional belum dibuktikan secara ilmiah, maka penelitian ilmiah menjadi
prioritas dalam upaya peningkatan mutu dan keamanannya.7
Salah satu tanaman laut yang
dapat dikembangkan sebagai tanaman obat adalah Spons. Spons dikenal mampu
menghasilkan senyawa bioaktif dengan berbagai aktivitas farmakologis seperti
sitotoksik, antitumor, antileukimia, anti HIV-1, antimikroba, anti jamur dan
anti inflamasi.8 Selain itu, Spons memiliki senyawa aktif yang persentase
keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan
oleh tumbuhan darat.8 Keberadaan senyawa-senyawa aktif tersebut
menyebabkan Spons menjadi pusat perhatian dalam dunia industri farmasi dan
medis saat ini.
Spons
laut genus Clathria merupakan salah satu genus yang menunjukkan potensi
sebagai sumber senyawa bioaktif. Belum pernah dilakukan
penelitian mengenai efek antimalaria Spons Clathria
sp, padahal menurut penelitian sebelumnya ditemukan bahwa Clathria sp memiliki kandungan alkaloid
yang merupakan salah satu senyawa yang efektif sebagai antimalaria.9
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut peneliti bermaksud untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak Spons laut (Clathria sp.) terhadap kadar SGOT dan SGPT
mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental dengan metode Post
Test Only Controlled Group Design. Penelitian dilakukan selama 7 hari.
Sampel penelitian kali ini adalah mencit Balb/C. Sampel dipilih dengan cara simple random sampling dan dibagi
menjadi 6 kelompok yang terdiri atas empat kelompok perlakuan (P) dan dua
kelompok kontrol (K), dimana setiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit. P-1 diberikan
ekstrak spons dengan dosis 50 mg/kgBB, P-2 100 mg/kgBB, P-3 150 mg/kgBB, P-4 200
mg/kgBB, Kelompok Kontrol Positif (K+) diberikan kloroquin dengan dosis 5 mg/kgBB,
sedangkan kelompok Konrtol negatif (K-) tidak diberikan perlakuan setelah
diinfeksikan P. berghei. Perlakuan
diberikan satu kali per hari. Pada hari terakhir penelitian, dilakukan
pengambilan darah mencit secara intrakardial sebanyak 1,5 cc untuk pemeriksaan
SGOT dan SGPT.
Pada penelitian ini digunakan Spons laut genus Clathria sp karena penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa Spons laut memiliki banyak senyawa bioaktif yang fungsional.10 Spons laut menyintesis senyawa
metabolit sekunder berupa antioksidan yaitu terpen, steroid, alkaloid dan
kelompok senyawa fenolik alam seperti polipetida, fenilpropanoid dan flavonoid.11
Sebagian besar senyawa yang berasal dari Spons adalah senyawa yang mengandung
nitrogen (alkaloid, manzamine, indoles, pyridine, tyrosine, protein dan
peptida).12
Ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak
alkaloid murni yang didapatkan dari fraksi asam-basa dengan menggunakan pelarut
metanol. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan keterlibatan
senyawa bioaktif lain di dalam Spons yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Salah satu senyawa yang telah diisolasi dari
genus ini yaitu alkaloid yang memiliki efektivitas sebagai
antimalarial.9
Peneliti melakukan pengendalian terhadap beberapa variabel
untuk memperkecil variasi biologis pada hewan coba. Peneliti menggunakan hewan
coba yang memiliki kriteria biologis yang sama yaitu galur Balb/C berumur 10-12
minggu, berjenis kelamin jantan, berat badan 20-30 gram dan tidak terlihat
adanya kelainan anatomis. Semua hewan coba diberikan perlakuan yang sama mulai
dari jenis makanan, jenis kandang, maupun jumlah hewan di setiap kandang. Hal ini
dilakukan agar hewan coba dalam konsidi yang sama dan hasil penelitian tidak
dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi.13 Sebelum dilakukan
penelitian, mencit diadaptasikan dengan kondisi laboratorium selama 7 hari guna
mengurangi tingkat stress mencit.
Mencit yang digunakan dalam penelitian ini berjenis kelamin
jantan karena sistem hormonal pada mencit jantan lebih stabil dibandingkan
dengan mencit betina.14 Selain itu tingkat stress mencit jantan
lebih rendah dibandingan dengan mencit betina sehingga dapat meminimalisir
variasi biologi yang disebabkan pengaruh stress.13,14 Variasi teknis
perlakuan juga dikurangi dengan menyamakan jumlah volume pemberian yaitu 0,5
mL/mencit.
Hasil Penelitian
Parameter yang digunakan untuk
mengetahui pengaruh pemberian ekstrak terhadap derajat kerusakan hepar hewan
coba adalah SGOT dan SGPT. Setelah diberikan perlakuan selama tujuh hari, darah
hewan coba diambil secara intrakardial untuk pemeriksan SGOT dan SGPT. Hasil
pemeriksaan SGOT disajikan dalam Tabel 4.1.�
��
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan
SGOT
No |
Nilai SGOT (U/L) |
|||||
K+ |
K- |
P1 |
P2 |
P3 |
P4 |
|
1 |
111 |
179 |
- |
- |
339 |
177 |
2 |
146 |
260 |
491 |
257 |
211 |
271 |
3 |
112 |
284 |
251 |
278 |
271 |
173 |
4 |
170 |
322 |
312 |
282 |
242 |
- |
5 |
142 |
300 |
230 |
259 |
254 |
182 |
Rata-rata (Mean � SD) |
136.2
� 24,9 |
269
� 55,17 |
321
� 118,54 |
269
� 12,83 |
263.4
� 47,6 |
200.75
� 46,97 |
Keterangan�� :�
K+ ����� :
Klorokuin 5mg/KgBB
K- ������ :
Aquades
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
Berdasarkan data pada Tabel
4.1 tersebut, nilai rata-rata SGOT terendah terdapat pada kelompok K+ (136.2
� 24,9
U/L) dan tertinggi terdapat pada kelompok P1 (321 � 118,54 U/L).
Terdapat dua kelompok perlakuan yang memiliki nilai rata-rata SGOT lebih rendah
dibandingkan kelompok kontrol negatif (K-) yaitu kelompok P4 (200 mg/KgBB) dan
P3 (150 mg/KgBB). Pada kelompok perlakuan, nilai SGOT terendah terdapat pada
kelompok P4 dengan kadar sgot rata-rata 200.75 � 46,97 U/L, nilai ini lebih
tinggi daripada kelompok kontrol positif (K+), tetapi lebih rendah dari
rata-rata kelompok kontrol negatif (K-).
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan
SGPT
No |
Nilai SGPT |
|||||
K+ |
K- |
P1 |
P2 |
P3 |
P4 |
|
1 |
29 |
57 |
- |
- |
57 |
45 |
2 |
31 |
55 |
50 |
68 |
47 |
83 |
3 |
31 |
54 |
45 |
45 |
55 |
44 |
4 |
42 |
57 |
50 |
51 |
37 |
- |
5 |
39 |
61 |
41 |
51 |
47 |
35 |
Rata-rata |
34.4
� 5.72 |
56.8
� 2.68 |
46.5
� 4.35 |
53.75
� 9.91 |
48.6
� 7.92 |
51.75
� 21.31 |
Keterangan�� :�
K+ ����� :
Klorokuin 5mg/KgBB
K- ������ :
Aquades 5ml
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan nilai rata-rata SGPT paling rendah
pada kelompok P1, kemudian secara berurutan diikuti oleh kelompok P3, P4, dan
P2. Seluruh kelompok perlakuan (P1-P4) memiliki nilai rata-rata kadar SGPT
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pada penelitian ini,
terdapat dua hewan coba yang mengalami kematian pada hari perlakuan ke-5
sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan SGOT dan SGPT di akhir perlakuan.
Selain itu, satu sampel darah mencit pada kelompok P4 tidak dapat digunakan
karena sampel mengalami hemolisis pada saat akan dilakukan pemeriksaan.
Adapun perbandingan SGOT dan
SGPT pada masing-masing kelompok perlakuan disajikan dalam grafik berikut:
���� Gambar 4.1 Perbandingan rerata
kadar SGOT dan SGPT
Kadar SGOT mengalami
peningkatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SGPT. Rata-rata
peningkatan kadar SGOT mencapai lebih dari 100U/L pada setiap kelompok
perlakuan, sementara rata-rata nilai SGPT kurang dari 50 U/L untuk semua
kelompok. Kelompok kontrol positif (K+) memiliki nilai SGOT dan SGPT yang
paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain. Nilai SGOT dan SGPT tertinggi
terdapat pada kelompok perlakuan P1 dan kelompok kontrol negatif (K-). Dari
seluruh kelompok perlakuan, nilai SGOT/SGPT terendah didapatkan pada kelompok
perlakuan P4.
Setelah dilakukan pengumpulan
data, kemudian dilakukan analisa data menggunakan software SPSS. Sebelum
melakukan uji hipotesis, akan dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu
menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk
mengetahui distribusi data hasil penelitian. Hasil uji normalitas data ditampilkan
dalam Tabel 4.2.�� �
��������� Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas
Variabel Penelitian |
Nilai P pada Uji Normalitas |
|
||||
K+ |
K- |
P1 |
P2 |
P3 |
P4 |
|
SGOT SGPT |
0,421 0,200 |
0,411 0,502 |
0,232 0,274 |
0,189 0,219 |
0,632 0,547 |
0,052 0,115 |
Keterangan
:
K-������� :
Aquades 5ml
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
vs ����������� (versus)��������� : Dibandingkan
Pada hasil uji normalitas
didapatkan data terdistribusi normal pada seluruh kelompok perlakuan. Oleh
karena data terdistribusi normal, maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis
menggunakan uji Oneway-Anova untuk
mengetahui pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Spons laut Clathria sp. terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit yang teinfeksi Plasmodium berghei. Pada uji hipotesis penelitian menggunakan Oneway-Anova didapatkan nilai signifikansi
sebagai berikut:
Tabel 4.4 Hasil uji beda
antara setiap kelompok perlakuan yang menggunakan Uji Oneway-Anova
Variabel pemeriksan |
Nilai p |
|
SGOT SGPT |
0,000 0,035 |
|
Berdasarkan hasil analisis data
menggunakan One Way Anova, didapatkan nilai signifikansi p=0,00 (p<0,05) pada SGOT dan p=0,035
(p<0,005) pada SGPT yang berarti terdapat perbedaan kadar SGOT/SGPT yang bermakna pada
minimal dua kelompok perlakuan yang berbeda, namun belum diketahui kelompok
mana yang memiliki perbedaan kadar SGOT/SGPT yang bermakna. Oleh karena itu, untuk
menentukan kelompok yang memiliki perbedaan kadar SGOT/SGPT yang bermakna maka
dilakukan Uji Posthoc LSD.
Pada analisa data SGOT, dilakukan uji LSD antara kelompok kontrol negatif dan
kelompok ekstrak untuk mengetahui perbandingan kadar SGOT mencit yang diberikan
ekstrak alkaloid Clathria sp dengan
yang mencit yang hanya diberikan aquades. �data hasil uji analisa LSD pada SGOT
ditampilkan cdalam Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Uji LSD kadar
SGOT kelompok yang diberikan aquades (K-) dengan kelompok yang diberikan
Ekstrak alkaloid Spons Clathria sp (P1-4)
Kelompok |
Nilai
p |
||
K- K- K- K- |
P1 P2 P3 P4 |
0,332 0,617 0,486 0,004 |
|
Keterangan:
K-������� :
Aquades 5ml
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
vs ������ (versus)��������� : Dibandingkan
Berdasarkan hasil analisa data
yang tertera pada Tabel 4.5 didapatkan bahwa kelompok P1, P2 dan P3 memiliki
nilai signifikasi p>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa P1, P2 dan P3 tidak memiliki
perbedaan yang bermakna dengan kelompok K-.
Sebaliknya, didapatkan nilai signifikasi p<0,05 pada kelompok P4 yang
berarti terdapat perbedaan bermakna antara kadar SGOT pada kelompok kontrol
yang diberikan aquades dan kadar SGOT pada kelompok yang diberikan ekstrak
alkaloid Spons laut Clathria sp dengan
dosis 200 mg/KgBB. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Spons
laut Clathria sp dengan dosis 50,
100, dan 150 mg/KgBB tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar
SGOT mencit yang diinduksi Plasmodium
berghei. Sebaliknya, pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp dengan dosis 200 mg/KgBB memiliki pengaruh yang
signifikan (sig.<0,05) terhadap kadar SGOT mencit yang diinduksi Plasmodium berghei.
Dilakukan uji analisa LSD
kembali untuk mengetahui perbandingan kadar SGOT mencit pada kelompok yang
diberikan klorokuin (K+) dan kadar SGOT pada kelompok ekstrak. Hasil uji LSD disajikan dalam Tabel berikut:
Tabel 4.6 Hasil Uji LSD kadar
SGOT kelompok yang diberikan klorokuin dengan kelompok yang diberikan Ekstrak
alkaloid Spons Clathria sp
Kelompok
perlakuan |
Nilai
p |
K+ vs
P1 K+ vs
P2 K+ vs
P3 K+ vs
P4 |
0,000 0,002 0,002 0,376 |
Keterangan:
K+ ����� :
Klorokuin 5mg/KgBB
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
Berdasarkan hasil analisa data yang disajikan pada Tabel
4.6, dapat terlihat bahwa kelompok yang memiliki pengaruh yang tidak berbeda
secara bermakna (sig.>0,05) dengan kelompok klorokuin adalah kelompok P4,
yaitu kelompok ekstrak alkaloid Spons laut Clathria
sp dengan dosis 300 mg/KgBB. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh analisa
data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian
ekstrak Clathria sp dosis 200 mg/KgBB
terhadap kadar SGOT mencit yang diinfeksi plasmodium berghei, selain itu
pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria
sp memiliki efektivitas yang tidak berbeda bermakna dengan pemberian
klorokuin.
Pada analisa data SGPT, dilakukan juga Uji LSD antara kelompok ekstrak dan kelompok
kontrol (positif maupun negatif)
untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp terhadap kadar SGPT mencit yang teinfeksi Plasmodium berghei. Hasil uji LSD
ditampilkan dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil Uji LSD kadar
SGPT kelompok K- yang diberikan aquades dengan kelompok perlakuan yang
diberikan Ekstrak alkaloid Spons Clathria
sp.
Kelompok
perlakuan |
Nilai
p |
K- vs P1 K- vs
P2 K- vs
P3 K- vs
P4 |
0,142 0,656 0,212 0,463 |
Keterangan:
K-������� :
Aquades 5ml
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
vs ����������� (versus)��������� : Dibandingkan
Berdasarkan
hasil analisa data LSD di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrol negatif tidak
memiliki perbedaan yang bermakna dengan semua kelompok perlakuan (sig.
>0,05). Sementara itu untuk membandingkan kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol positif
(K+), juga dilakukan analisa LSD. Hasil Uji LSD kadar SGPT
ditampilkan dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Hasil Uji LSD kadar
SGPT kelompok K+ yang diberikan klorokuin dengan kelompok perlakuan yang
diberikan Ekstrak alkaloid Spons Clathria
sp.
Kelompok
perlakuan |
Nilai
p |
K+ ����P1 K+ ����P2 K+ ����P3 K+ ����P4 |
0,087 0,009 0,037 0,018 |
Keterangan:
K+������ : Klorokuin 5mg/KgBB
P1������ :
Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB
P2������ :
Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB
P3 ����� :
Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB
P4 ����� :
Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB
vs ����������� (versus)��������� : Dibandingkan
Berdasarkan
hasil analisa data, �hanya kelompok P1 (kelompok ekstrak dosis 50 mg/kgBB) yang memiliki efek yang tidak berbeda
bermakna
(sig> 0,05) dengan kelompok kontrol positif (klorokuin). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok
kontrol positif dengan kelompok ekstrak dosis 100, 150 dan 200 mg/kgBB.�
Pembahasan
Sampai saat ini angka kejadian malaria masih sangat tinggi.
Prevalensi penyakit malaria di Indonesia mencapai 300-500 juta kasus klinis
setiap tahunnya.15 Diperkirakan sebanyak 60% penduduk Indonesia
tinggal di daerah endemis malaria. Penyebaran daerah endemis di Indonesia
sangat beragam dengan tinggi endemisitasnya yang berbeda-beda di tiap daerah.16
Insidensi malaria tertinggi terjadi pada daerah luar Jawa-Bali yaitu sekitar 16
per 1.000 penduduk pada tahun 1997 dan cenderung meningkat setiap tahunnya.7
Penyakit malaria jika tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati. Sel hati memiliki enzim intraselular
yaitu SGOT dan SGPT.17 Ketika terjadi kerusakan pada sel hati, enzim
ini akan dikeluarkan ke aliran darah dan dapat diukur melalui pemeriksaan
laboratorium.
Pengobatan malaria merupakan salah satu upaya utama dalam
program pemberantasan malaria. Namun kesulitan pemberantasan malaria saat ini
disebabkan karena faktor resistensi dari parasit terhadap obat antimalaria dan
faktor resistensi nyamuk anopheles terhadap insektisida.16 Kasus
resistensi obat malaria semakin meningkat, bahkan kejadian resistensi sudah
ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia Oleh karena itu diperlukan beberapa
obat alternatif lain yang dapat digunakan atau dikembangan sebagai obat
antimalaria alternatif .7,17
Saat ini sudah banyak ditemukan senyawa alam yang
berpotensi sebagai antimalaria, salah satunya adalah spons laut. Spons laut
memiliki banyak senyawa bioaktif yang efektif sebagai antimalaria. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan Murtihapsari et al tahun 2013,
spons laut genus clathria sp memiliki senyawa antioksidan berupa alkaloid dapat
menghambat perkembangan plasmodium dalam menginfeksi sel parenkim hati.10
Mekanisme Perbaikan Fungsi Hepar oleh
Spons Laut Clatrhia sp
Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Spons
merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan biotik
maupun abiotic.16 Faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi metabolit Spons antara lain suhu, kekeruhan,
kekuatan arus, cahaya, salinitas, serta faktor kimiawi lainnya. Walaupun dengan
jenis Spons yang sama, akan tetapi jika masing � masing Spons hidup pada
kondisi lingkungan yang berbeda, dapat memiliki keaktifan metabolit sekunder
yang berbeda pula.18
Dua senyawa Clathria sp yang telah berhasil
diisolasi diambil dari perairan wilayah Sulawesi Selatan antara lain golongan
senyawa fenolik dan steroid yaitu β-sitosterol.19 Senyawa-senyawa
ini memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan plasmodium secara in
vitro.20 Spons laut juga memproduksi senyawa noresterpene, norditerpene
peroxide acids dan beberapa senyawa lain seperti sigmosceptrellin-A, sigmosceptrellin-B
yang memiliki efektivitas antiplasmodium.21
Ekstrak Alkaloid Clathria sp Infeksi plasmodium - noresterpene,
norditerpene peroxide acids Intra-eritrosit + Ekstra-eritrosit (hepar) Sistem imun - Infeksi hepar + - SGOT/SGPT Sistem imun Manzamines
Gambar 4.2 Mekanisme perbaikan fungsi hati oleh ekstrak
alkaloid Spons Clathria sp.
Selain mekanismenya dalam menghambat infeksi plasmodium,
senyawa yang terkandung di dalam ekstrak spons laut juga memiliki kemampuan
dalam meningkatkan respon imun tubuh.22,23 Mekanisme ini dilakukan
oleh manzamines, yang secara struktur merupakan group alkaloid jenis beta-carboline yang telah diisolasi dari
beberapa spesies spons laut dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, seperti
genus Clathria sp.22 Manzamines
merupakan salah satu senyawa bioaktif dari spons yang memiliki efektivitas
antimalaria yang paling menjanjikan.22,24
Spons laut banyak mengandung antioksidan berupa alkaloid,
steroid, terpenoid, dan flavonoid.25 Senyawa antioksidan yang
terdapat dalam spons laut memiliki kemampuan untuk meredam radikal bebas melaui
mekanisme sebagai scavenger.26,27
Alkaloid dan flavonoid juga merupakan senyawa antioksidan yang dapat melawan
radikal bebas di hepar melalui aktivitasnya sebagai scavenger.27
Beberapa penelitian lain juga telah membuktikan bahwa
senyawa-senyawa ini tidak hanya berperan sebagai antimalaria, meningkatkan
respon imun dan antioksidan, tetapi juga memiliki aktivitas sebagai agen anti
inflamasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim (2011) disebutkan bahwa
saponin dan alkaloid dapat menurunkan produksi TNF-α melalui penghambatan
aktivasi NF-kβ.28 Selain itu, tanin, flavonoid dan triterpenoid
juga dapat menghambat produksi sitokin tersebut.29
Pengaruh Pemberian Ekstrak
Alkaloid Clathria sp terhadap Kadar SGOT
dan SGPT
Kadar SGOT dan SGPT digunakan sebagai indikator kerusakan
fungsi hati karena merupakan enzim yang dibebaskan dari dalam sel ketika
terjadi cedera sel hati.17,30 SGPT paling banyak ditemukan di dalam
sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk menilai kerusakan sel hati.31
Peningkatan SGOT dan SGPT terlihat jelas apabila nilai melebihi rentang nilai
pada aktivitas normal untuk mencit yaitu 76-208 U/L untuk SGPT dan 30-314 U/L
untuk SGOT.14
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar SGOT jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar SGPT. Terdapat beberapa faktor yang
memungkinkan terjadinya peningkatan kadar SGOT dibanding SGPT pada penelitian
ini. Pertama, infeksi parasit plasmodium menimbulkan kerusakan terbesar pada
organel sel karena berdasarkan distribusinya di tingkat sel, enzim SGOT lebih
banyak terikat pada organel sel daripada sitoplasma. Sebaliknya, enzim SGPT
lebih banyak terdapat pada sitoplasma sel hepar.32 Bila kerusakan
sel hepar terutama mengenai membran sel, maka kenaikan SGPT lebih menonjol. Sebaliknya,
jika infeksi plasmodium sebagian besar menyerang organel sel, maka kenaikan
SGOT lebih menonjol.33 Kedua, peningkatan SGOT yang tinggi dapat
dipengaruhi oleh infeksi plasmodium di organ lain (non-hati) yang juga memiliki
enzim SGOT seperti jantung, otot rangka, otak dan ginjal, sehingga ketika
terjadi infeksi sistemik SGOT akan dikeluarkan oleh beberapa organ yang
mengalami kerusakan.33 Kecepatan pembersihan enzim hati dari plasma
juga memberikan pengaruh terhadap perbedaan kadar SGOT dan SGPT pada saat
pemeriksaan. Waktu paruh dari SGPT mencapai 47 jam, sedangkan SGOT� 17 jam. Peningkatan SGOT yang tinggi
mengindikasikan kerusakan yang akut dikarenakan aktivitas sitoplasma yang lebih
besar di dalam hepatosit. Namun jika kerusakan hati terus berlangsung sampai
lebih dari 48 jam, maka peningkatan SGPT akan lebih terlihat menonjol di
bandingkan SGOT, karena SGPT memiliki waktu paruh yang lebih panjang
dibandingkan SGOT.33,34
Hasil analisa data menunjukan adanya penurunan jumlah SGOT
dan SGPT pada kelompok ekstrak alkaloid Clathria
sp dibandingkan dengan kelompok yang diberikan aquades (kelompok K-), yang
berarti derajat kerusakan sel hati mencit lebih rendah pada kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kelompok K-. Pada uji hipotesis mengunakan Oneway-Anova, didapatkan perbedaan yang
signifikan (p<0,05) antara kadar SGOT dan SGPT pada kelompok perlakuan
dengan kelompok K-. Hal ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh pemberian
ekstrak alkaloid Clathria sp terhadap
kadar enzim SGOT dan SGPT mencit yang diinduksi plasmodium berghei.
Hail analisa data menunjukkan bahwa pada pemeriksaan SGOT, kelompok
P4 (kelompok yang diberikan ekstrak alkaloid Clathria sp dengan dosis 200 mg/kgBB) memiliki perbedaan yang
signifikan (p<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok K-. Berbeda dengan
hasil yang didapatkan pada pemeriksaan SGPT, kelompok yang memiliki perbedaan
bermakna (p<0,05) adalah kelompok P1 yaitu ekstrak alklaoid spons laut dengan
dosis 50 mg/kgBB.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al (2014), ekstrak metanol Spons laut
memiliki efektivitas dalam menurunkan kadar SGOT dan SGPT yang signifikan (p
<0,001). Sejalan dengan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa
terdapat penurunan kadar SGOT dan SGPT. Akan tetapi, setelah dilakukan uji
varian satu arah (Oneway-Anova)
perbedaan signifikan hanya terjadi pada kelompok P4 pada SGOT dan P1 pada SGPT,
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perbedaan hasil ini dapat terjadi karena
beberapa faktor, antara lain perbedaan lokasi pengambilan Spons dan jenis
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Spons.18
Peneliti menduga bahwa penurunan kadar SGOT dan SGPT pada
penggunaan ekstrak alkaloid dalam penelitian ini kemungkinan terjadi melalui
tiga mekanisme utama, yaitu penghambatan infeksi plasmodium ke dalam sel hati dan
peningkatan respon imun hewan coba serta melalui mekanisme scavenger dalam antioksidan dan mekanisme antiinflamasi oleh
senyawa alklaoid dan terpenoid.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain: 1) Tidak
dilakukan penelitian pendahuluan terkait jenis alkaloid yang terdapat pada
ekstrak alkaloid Clathria sp yang
digunakan. 2) Tidak dilakukannya penelitian kualitatif maupun kuantitatif untuk
mengukur konsentrasi alkaloid di dalam ekstrak yang digunakan, sehingga tidak diketahui
secara pasti konsentrasi alkaloid yang terkandung dalam ekstrak yang digunakan.
3) Pada penelitian ini hanya dilakukan pengukuran terhadap enzim SGOT dan SGPT,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan enzim hati lainnya untuk melihat derajat
kerusakan maupun perbaikan sel hati secara akurat. 4) Ruangan isolasi dan
perawatan mencit selama pelaksanaan masih disatukan dalam satu ruangan dengan
hewan coba penelitian lain sehingga menimbulkan faktor stress pada mencit.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran
kadar SGOT dan SGPT serta analisa statistik yang dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa pemberian ekstrak alkaloid Clathria
sp memberikan pengaruh terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Hasil uji statistik Oneway-Anova
menunjukkan adanya perbedaan kadar SGOT dan SGPT yang bermakna antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol. Pada pemeriksaan SGOT hanya kelompok P4
(ekstrak alkaloid dosis 200 mg/kgBB) yang memiliki perbedaan signifikan
(p<0,05) dengan kelompok kontrol negatif. Pada pemeriksaan Posthoc
LSD untuk SGPT, hanya kelompok P1
(ekstrak alkaloid dosis 50 mg/kgBB) yang memiliki perbedaan signifikan dengan
kelompok kontrol negatif.
Saran
Adapun saran yang dapat
dipertimbangkan untuk penelitian lebih lanjut adalah: 1) Perlu dilakukan
penelitian pendahuluan terkait jenis alkaloid yang terdapat pada ekstrak
alkaloid Clathria sp yang digunakan.
2) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan perhitungan kadar alkaloid secara kualitatif
dan kuantitatif. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti kadar alkaloid
yang digunakan. 3) Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan memperhatikan dosis, lama waktu, jumlah sampel dan
pemeriksaan fungsi hepar dengan pemeriksaan histopatologi maupun pemeriksaan
enzim lain seperti γ-glutamiltransferase (GGT), Alkalin Fosfatase (ALP)
dan Laktat Dehidrogenase (LD) untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. 4) Pada
penelitian selanjutnya, diharapkan ruangan isolasi dan perawatan hewan coba
mencit tidak digunakan untuk merawat hewan coba yang lain, terutama hewan coba
yang diinfeksikan penyakit infeksius.
Daftar
Pustaka
1. Shankar
R, Deb S, Sharma B K. Antimalarial plants
of northeast India: An overview. J Ayurveda Integr Med 2012;3:10-6
2. Depkes
RI. Pedoman Penatalaksana Kasus Malaria di Indonesia.�
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Pedoman_Penatalaksana_Kasus_Malaria_di_Indonesia.pdf.
Diakses tanggal 10 Maret 2015
3. Zein,
U. Perbandingan Efikasi Antimalaria
Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata ness) Tunggal dan Kombinasi
Masing-Masing dengan Artesunat dan Klorokuin pada Pasien Malaria Falsiparum
Tanpa ������ Komplikasi.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7404/1/09E00226.pdf. Diakses
tanggal 10 Maret 2015
4. Jha S,
Shrestha S, Gole SG, & Deep G. Assessment
of serum bilirubin and hepatic enzymes in malaria patiens. Int J of Biomed
and Advance Reseacrh IJBAR 2014; 5(03)
5. Hiswani. Gambaran
Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara: 2008.
6. Harijanto, Paul. Eliminasi Malaria pada Era Desentralisasi.�
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20
mALARIA.pdf. Diakses 9
Maret 2015
7. Tjitra
E. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi
Artemisinin. Bul Penel Kesehatan, 2005: Vol. 33(2):53-61.
8. Suparno.
Kajian Bioaktif Spons Laut
(Porifera: Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang
Indonesia Dalam Dibidang Farmasi.
Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor: 2005.
9. Carrol,
J and Jenna Arruda. Uses Of Marine
Compound.�
http://digitalcommons.calpoly.edu. 2009. Diakses 09 September 2014.
10.
Murtihapsari, Parubak AS, Mangallo B, Ekasari W, Asih PB & Lestari
AI. Isolation and Presence of Antimalarial Activities of Marine Sponge
Xestospongia sp. Indo. J. Chem., 2013, 13 (3), 199 - 204
11.
Usman, H., Bahar, R., Yohanes, E., Rahmawaty,
Ahmad, A. Isolation, Chemical Characterization, And Bioactivity Of Secondary
Metabolites With Polar Constituents Of Petrossian
Alfiani Sponges. Universitas Hasanuddin: 2014
12. Alejandro MS, Mayer, Virgina, KB Lehmann. Marine pharmacology in 1998: Marine
compounds with Antibacterial, Anticoagulent, Antifungal, Antinflammatory,
Anthelminitic, Antiplatelet and Antiviral activities; with actions on the
cardiovascular, endocrine, immune, and nervous systems: and other Miscellaneous
mechanisms of action. The Pharmacol. 2000:
(42) 62-69.
13. Muhtadi,
Suhendi, A., Nurcahyanti,� & Sutrisna
EM. Uji
Praklinik Antihiperurisemia Secara In Vivo Pada Mencit Putih Jantan Galur
Balb-C Dari Ekstrak Daun Salam (Syzigium Polyanthum Walp) Dan Daun Belimbing
Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.). J Biomedika
2014;2:6-1
14. Arwati,
H. Vaksin Malaria: Mengapa Sampai Saat
Ini Belum Juga diteriman?.�
http://www.fk.unair.ac.id/publikasi/lingua/XXXII/5.asp. Diakses 09 april
2015
15. Azizah,
N., Wungu, CDK., & Viradella J. Potensi
Propolis pada Sarang Lebah Madu dalam Menghambat Infeksi P. falciparum sebagai
Terapi Penunjang Malaria Tropikana. J of Indo Med Student Ascociation 2010;
Vol I(01):36-42
16.
Wiadnya, IBR. Perbedaan kadar sgot (serum glutamic oxaloacetic transaminase)
Pada penderita malaria falciparum dan
malaria vivax. Media Bina Ilmiah; 2013: 1978-3787
17.
Amir, I. Dan Budiyanto, A. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oceana,
1996: 21(2):15-31.
18. Rachmat,
R. Spons Indonesia Kawasan Timur :
Keragaman, distribusi, Kelimpahan, dan kandungan Metabolit Sekundernya.
Pusat penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta: 2007.
19. Konig GM, Wright AD, Angerhofer CK (1996). Novel potent antimalarial diterpene
isocyanates, isothiocyanates, and isonitriles from the tropical marine sponge
Cymbastela hooperi. J. Org. Chem. 61:
3259-3267.�
http://www.pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jo952015z diakses tanggal 9
april 2015
20. Sayed KA, Haman MT, Hashish NE, Shier WT, Kelly M, &
Khan AA. Antimalarial, antiviral, and
antitoxoplasmosis norsesterpene peroxide acids from the Red Sea sponge
Diacarnus erythraeanus. J. Nat. Prod. 64: 522�4.� http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11325240
diakses tanggal 13 April 2015
21. Ravichandran,
S., Kathiresan K., & Balaram H. Anti-malarials
from marine sponges Mini Review. Biotechnol. Mol. Biol. Rev 2007; Vol 2
(2): 033-038
22.
Ang KK, Holmes MJ, Kara
UAK Immune-mediated parasite clearance in mice infected with Plasmodium berghei
following treatment with manzamine A. Parasitol. Res. 87: 715-721.�
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11570556 Diakses tanggal 10 November
2015
23.
Murti, Y B. Isolation and structure elucidation of bioactive
secondary metabolites from Sponss collected at Ujungpandang and in the
Bali Sea, Indonesia: 2006.
24. Warbung,
Y.Y., Wowor, V.N.S., Posangi, J. Daya
Hambat Ekstrak Spons Laut Callyspongia
sp terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus
aureus. �http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/egigi/article/view/3151.
Last Update 2011. Diakses tanggal 15
April 2015
25. Topcu
G, Ertas A, Kolak U, Ozturk M, Ulubelen A.Antioxidant
activity tests on novel triterpenoids from Salvia macrochlons. Arkivoc,
2007 (7): 195-208.
26. Kim S,
Shim S, Choi DS, Kim JH, Kwon YB, Kwon J. Modulation
of LPS-stimulated astroglial activation by ginseng total saponins. J
Ginseng Res, 2011: (35) 80-1
27. Erlejman
AG, Jaggers G, Fraga CG, Oteiza PI. TNF
alpha-induced NF-kappaB activation and cell oxidant production are modulated by
hexameric procy-anidins in Caco-2 cells. Arch Biochem Biophys, 2008;
476(2):186-195.
28. Sacher RA, Mc Pharson RA. Uji Fungsi Hati. Dalam: Tinjauan klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran (EGC): 2006.
29. Wibowo,
WA., Maslachah, L., & Bijanti R. 2008. Pengaruh
Pemberian Perasan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Terhadap Kadar SGOT dan
SGPT Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan Diet Tinggi Lemak. Jurnal
Veterineria Medika Universitas Airlangga, 2008 (1): 1-5
30. Carl
A, Edward R, & David E. Clinical
Chemistry and Molecular Diagnostics II. 4nd ed. 2007. USA: Saunders
Elsevier
31.
Wardhani A. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Valerian (Valeriana officinalis) terhadap
Gambaran Mikroskopis Hepar dan Kadar SGOT Tikus Wistar. Universitas
Diponegoro, Semarang
32. Richard
A, Matthew R. Clinical Diagnosis and
Management by Laboratory Methods. 21th ed. 2007. USA: Saunders Elsevier.
Lampiran 1. Surat Persetujuan Ethical clearance
������������������