PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ALKALOID SPONS LAUT (Clathria sp.) TERHADAP KADAR SGOT/SGPT MENCIT BALB/C YANG DIINFEKSI PLASMODIUM BERGHEI

(THE INFLUENCE OF MARINE SPONGE ALKALOID EXTRACT ADMINISTRATION TO SGOT/SGPT LEVEL IN PLASMODIUM BERGHEI-INFECTED BALB/C MICE)

 

Ardiansyah1, E Hagni Wardoyo2, Yunita Sabrina2

1 Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

2 Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

 

Abstract

Background: The high prevalence of malaria caused by several factors, including the increasing of resistance to present antimalarial drugs. Resistance to chloroquine and sulphadoxine/pyrimethamine encourage researchers to find a new antiplasmodial agent, including from marine biotas. Clathria sp sponge is one of the marine biota that previously known containing alkaloid which has an antiplasmodial activity.

Objective: The objective of this study was to evaluate the influence of marine sponge alkaloid extract administration (Clathria sp) to SGOT/SGPT level of Plasmodium berghei-infected Balb/C mice

Methode: This research was an experimental study using Post Test Only Control Group Design. As much as 30 Balb/C mice were infected by P. berghei and randomized into 6 groups: 4 groups were given alkaloid extract at dose between 50-200 mg/kgBW and named as P1-P4 respectively and 2 control groups were treated with aquadest 5ml (K-) and chloroquine 5mg/kgBW (K+). All groups were given using sondage for 7 days. In the last day, mice were killed by ether and blood sample was obtained intracardiacly. The data were analyzed using Oneway-Anova and continued using LSD post hoc test if necessary.

Result: There was significant difference (p <0.05) between treatment and control group. The significancy level was p=0,000 (p<0,05) in SGOT and p=0,035 (p<0,05) in SGPT using Oneway-Anova test. Post-Hoc test showed that only P4 group that has a significant difference (p=0,004) with control group in SGOT and only P2 group that has a significat difference (p=0,009) in SGPT.

Conclusion: There is an influence between the administration of alkaloid extract of marine sponge to SGOT/SGPT level of Plasmodium berghei-infected Balb/C mice.

Keywords: marine sponge, Clathria sp, SGOT, SGPT, malaria

Abstrak

 

Latar Belakang: Tingginya prevalensi malaria disebabkan karena beberapa faktor. Salah satunya adalah peningkatan resistensi obat antimalaria konvensional, seperti klorokuin dan sulfadoksin/pirimetamin sehingga mendorong peneliti untuk mencari bahan antiplasmodium baru, khususnya menggunakan biota laut yang memiliki potensi tinggi untuk diteliti secara berkelanjutan. Spons Clathria sp adalah salah satu biota laut yang mengandung senyawa alkaloid yang memiliki aktivitas antiplasmodium.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp terhadap kadar SGOT/SGPTpada mencit Balb/C yang terinfeksi Plasmodium berghei.

Metode: Penelitian eksperimental dengan Post Test Only Control Group Design Sejumlah 30 ekor mencit jantan galur Balb/C diinfeksi dengan plasmodium berghei secara intraperitoneal. Sampel kemudian diagi menjadi 6 kelompok; 4 kelompok diberi ekstrak alkaloid Clathria sp dengan dosis masing-masing 50, 100, 150, 200mg/kgBB, 2 kelompok lainnya diberikan akuades 5ml (K-) dan klorokuin 5mg/kgBB selama 7 hari. Kemudian pada hari terakhir dilakukan pengambilan darah secara intrakardial untuk pemeriksaan SGOT/SGPT. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Oneway-Anova dilanjutkan dengan uji Post-Hoc LSD

Hasil: Hasil analisa statistik SGOT dan SGPT menunjukan adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan nilai signifikansi sebesar p=0,000 (p<0,05) dan p=0,035 (p<0,05) pada SGPT

Kesimpulan: Terdapat pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Spons laut Clathria sp terhadap kadar SGOT/SGPT mencit yang Balb/C yang diinfeksi Plasmodium berghei

Kata Kunci: Spons, Clathria sp, SGOT, SGPT, malaria

 


 

Pendahuluan

Malaria merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan utama di dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 300-500 juta kasus baru malaria di dunia, paling banyak di Afrika, Asia, Amerika Selatan. Sedikitnya, 1 juta orang meninggal akibat penyakit ini1.

Malaria merupakan salah satu penyakit yang berakibat fatal, khususnya pada daerah tropis dan endemis, termasuk Indonesia. Pada tahun 2007 tercatat bahwa 80% kabupaten/kota di Indonesia adalah daerah endemis malaria sementara pada tahun 2008, tercatat 1.624.930 kasus malaria. Menurut WHO pada tahun 2010, Indonesia menyumbang sekitar 224 ribu dari 24 juta kasus malaria sedunia serta menyebabkan sekitar 425 kematian dari 325 ribu kematian akibat malaria di seluruh dunia 2,3

Malaria disebabkan oleh protozoa yang disebut plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk jenis Anopheles. Dari ke empat spesies yang biasanya menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.2 Malaria menginfeksi manusia melalui plasmodium dalam stadium sporozoit. Sporozoit yang masuk ke dalam darah terikat pada sel hati melalui reseptor thrombospoin dan properdin. Di dalam sel hati, beberapa sporozoit menjadi matang dan membentuk schizont jaringan. Schizont jaringan akan meningkatkan derajat infeksi melalui produksi merozoit dengan jumlah yang banyak. Kemudian merozoit menginfeksi sel hepar dan menyebabkan kerusakan sel hepar. Kerusakan sel hepar dapat ditandai dengan pengeluaran enzim hepar, yaitu SGOT dan SGPT.4

Program pemberantasan penyakit malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab dan dilanjutkan dengan melakukan pengobatan kepada penderita yang terbukti positif melalui uji laboratorium.5 Namun kendala dalam memberikan pengobatan malaria saat ini adalah terjadinya resistensi malaria terhadap obat antimalaria konvensional.

Resistensi obat merupakan salah satu faktor terjadinya peningkatan insidensi penyakit malaria. Dilaporkan dalam 10 tahun terakhir bahwa resistensi malaria terhadap obat lama (klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin dan kina) terjadi di lebih dari 25% provinsi di Indonesia.6 Cepatnya penyebaran resistensi terhadap obat antimalaria yang digunakan selama ini merupakan tantangan yang serius dalam pengendalian penyakit malaria. Bahkan semua provinsi di Indonesia telah melaporkan kejadian resistensi beberapa obat antimalaria, termasuk klorokuin.3

Berdasarkan laporan resistensi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk menemukan obat-obat baru yang dapat digunakan dalam pengobatan malaria, terutama dengan memanfaatkan kekayaan tanaman obat yang tersebar di wilayah Nusantara. Khasiat sebagian obat-obat tradisional belum dibuktikan secara ilmiah, maka penelitian ilmiah menjadi prioritas dalam upaya peningkatan mutu dan keamanannya.7

Salah satu tanaman laut yang dapat dikembangkan sebagai tanaman obat adalah Spons. Spons dikenal mampu menghasilkan senyawa bioaktif dengan berbagai aktivitas farmakologis seperti sitotoksik, antitumor, antileukimia, anti HIV-1, antimikroba, anti jamur dan anti inflamasi.8 Selain itu, Spons memiliki senyawa aktif yang persentase keaktifannya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tumbuhan darat.8 Keberadaan senyawa-senyawa aktif tersebut menyebabkan Spons menjadi pusat perhatian dalam dunia industri farmasi dan medis saat ini.

Spons laut genus Clathria merupakan salah satu genus yang menunjukkan potensi sebagai sumber senyawa bioaktif. Belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek antimalaria Spons Clathria sp, padahal menurut penelitian sebelumnya ditemukan bahwa Clathria sp memiliki kandungan alkaloid yang merupakan salah satu senyawa yang efektif sebagai antimalaria.9 Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak Spons laut (Clathria sp.) terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei.

 

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Post Test Only Controlled Group Design. Penelitian dilakukan selama 7 hari. Sampel penelitian kali ini adalah mencit Balb/C. Sampel dipilih dengan cara simple random sampling dan dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri atas empat kelompok perlakuan (P) dan dua kelompok kontrol (K), dimana setiap kelompok terdiri atas 5 ekor mencit. P-1 diberikan ekstrak spons dengan dosis 50 mg/kgBB, P-2 100 mg/kgBB, P-3 150 mg/kgBB, P-4 200 mg/kgBB, Kelompok Kontrol Positif (K+) diberikan kloroquin dengan dosis 5 mg/kgBB, sedangkan kelompok Konrtol negatif (K-) tidak diberikan perlakuan setelah diinfeksikan P. berghei. Perlakuan diberikan satu kali per hari. Pada hari terakhir penelitian, dilakukan pengambilan darah mencit secara intrakardial sebanyak 1,5 cc untuk pemeriksaan SGOT dan SGPT.

Pada penelitian ini digunakan Spons laut genus Clathria sp karena penelitian sebelumnya menyatakan bahwa Spons laut memiliki banyak senyawa bioaktif yang fungsional.10 Spons laut menyintesis senyawa metabolit sekunder berupa antioksidan yaitu terpen, steroid, alkaloid dan kelompok senyawa fenolik alam seperti polipetida, fenilpropanoid dan flavonoid.11 Sebagian besar senyawa yang berasal dari Spons adalah senyawa yang mengandung nitrogen (alkaloid, manzamine, indoles, pyridine, tyrosine, protein dan peptida).12

Ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak alkaloid murni yang didapatkan dari fraksi asam-basa dengan menggunakan pelarut metanol. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir kemungkinan keterlibatan senyawa bioaktif lain di dalam Spons yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Salah satu senyawa yang telah diisolasi dari genus ini yaitu alkaloid yang memiliki efektivitas sebagai antimalarial.9

Peneliti melakukan pengendalian terhadap beberapa variabel untuk memperkecil variasi biologis pada hewan coba. Peneliti menggunakan hewan coba yang memiliki kriteria biologis yang sama yaitu galur Balb/C berumur 10-12 minggu, berjenis kelamin jantan, berat badan 20-30 gram dan tidak terlihat adanya kelainan anatomis. Semua hewan coba diberikan perlakuan yang sama mulai dari jenis makanan, jenis kandang, maupun jumlah hewan di setiap kandang. Hal ini dilakukan agar hewan coba dalam konsidi yang sama dan hasil penelitian tidak dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi.13 Sebelum dilakukan penelitian, mencit diadaptasikan dengan kondisi laboratorium selama 7 hari guna mengurangi tingkat stress mencit.

Mencit yang digunakan dalam penelitian ini berjenis kelamin jantan karena sistem hormonal pada mencit jantan lebih stabil dibandingkan dengan mencit betina.14 Selain itu tingkat stress mencit jantan lebih rendah dibandingan dengan mencit betina sehingga dapat meminimalisir variasi biologi yang disebabkan pengaruh stress.13,14 Variasi teknis perlakuan juga dikurangi dengan menyamakan jumlah volume pemberian yaitu 0,5 mL/mencit.

 

Hasil Penelitian

Parameter yang digunakan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak terhadap derajat kerusakan hepar hewan coba adalah SGOT dan SGPT. Setelah diberikan perlakuan selama tujuh hari, darah hewan coba diambil secara intrakardial untuk pemeriksan SGOT dan SGPT. Hasil pemeriksaan SGOT disajikan dalam Tabel 4.1.    

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan SGOT

No

Nilai SGOT (U/L)

K+

K-

P1

P2

P3

P4

1

111

179

-

-

339

177

2

146

260

491

257

211

271

3

112

284

251

278

271

173

4

170

322

312

282

242

-

5

142

300

230

259

254

182

Rata-rata

(Mean ± SD)

136.2 ± 24,9

269 ± 55,17

321 ± 118,54

269 ± 12,83

263.4 ± 47,6

200.75 ± 46,97

Keterangan   : 

K+       : Klorokuin 5mg/KgBB

K-        : Aquades

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

 

Berdasarkan data pada Tabel 4.1 tersebut, nilai rata-rata SGOT terendah terdapat pada kelompok K+ (136.2 ± 24,9 U/L) dan tertinggi terdapat pada kelompok P1 (321 ± 118,54 U/L). Terdapat dua kelompok perlakuan yang memiliki nilai rata-rata SGOT lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol negatif (K-) yaitu kelompok P4 (200 mg/KgBB) dan P3 (150 mg/KgBB). Pada kelompok perlakuan, nilai SGOT terendah terdapat pada kelompok P4 dengan kadar sgot rata-rata 200.75 ± 46,97 U/L, nilai ini lebih tinggi daripada kelompok kontrol positif (K+), tetapi lebih rendah dari rata-rata kelompok kontrol negatif (K-).

Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan SGPT

No

Nilai SGPT

K+

K-

P1

P2

P3

P4

1

29

57

-

-

57

45

2

31

55

50

68

47

83

3

31

54

45

45

55

44

4

42

57

50

51

37

-

5

39

61

41

51

47

35

Rata-rata

34.4 ± 5.72

56.8 ± 2.68

46.5 ± 4.35

53.75 ± 9.91

48.6 ± 7.92

51.75 ± 21.31

Keterangan   : 

K+       : Klorokuin 5mg/KgBB

K-        : Aquades 5ml

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

 

Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan nilai rata-rata SGPT paling rendah pada kelompok P1, kemudian secara berurutan diikuti oleh kelompok P3, P4, dan P2. Seluruh kelompok perlakuan (P1-P4) memiliki nilai rata-rata kadar SGPT lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Pada penelitian ini, terdapat dua hewan coba yang mengalami kematian pada hari perlakuan ke-5 sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan SGOT dan SGPT di akhir perlakuan. Selain itu, satu sampel darah mencit pada kelompok P4 tidak dapat digunakan karena sampel mengalami hemolisis pada saat akan dilakukan pemeriksaan.

Adapun perbandingan SGOT dan SGPT pada masing-masing kelompok perlakuan disajikan dalam grafik berikut:

     Gambar 4.1 Perbandingan rerata kadar SGOT dan SGPT

 

Kadar SGOT mengalami peningkatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SGPT. Rata-rata peningkatan kadar SGOT mencapai lebih dari 100U/L pada setiap kelompok perlakuan, sementara rata-rata nilai SGPT kurang dari 50 U/L untuk semua kelompok. Kelompok kontrol positif (K+) memiliki nilai SGOT dan SGPT yang paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain. Nilai SGOT dan SGPT tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P1 dan kelompok kontrol negatif (K-). Dari seluruh kelompok perlakuan, nilai SGOT/SGPT terendah didapatkan pada kelompok perlakuan P4.

Setelah dilakukan pengumpulan data, kemudian dilakukan analisa data menggunakan software SPSS. Sebelum melakukan uji hipotesis, akan dilakukan uji normalitas data terlebih dahulu menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk mengetahui distribusi data hasil penelitian. Hasil uji normalitas data ditampilkan dalam Tabel 4.2.    

          Tabel 4.3 Hasil Uji Normalitas

Variabel Penelitian

Nilai P pada Uji Normalitas

 

K+

K-

P1

P2

P3

P4

SGOT

SGPT

0,421

0,200

0,411

0,502

0,232

0,274

0,189

0,219

0,632

0,547

0,052

0,115

Keterangan :

K-        : Aquades 5ml

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

vs             (versus)          : Dibandingkan

Pada hasil uji normalitas didapatkan data terdistribusi normal pada seluruh kelompok perlakuan. Oleh karena data terdistribusi normal, maka selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji Oneway-Anova untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Spons laut Clathria sp. terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit yang teinfeksi Plasmodium berghei. Pada uji hipotesis penelitian menggunakan Oneway-Anova didapatkan nilai signifikansi sebagai berikut:

Tabel 4.4 Hasil uji beda antara setiap kelompok perlakuan yang menggunakan Uji Oneway-Anova

Variabel pemeriksan

Nilai p

SGOT

SGPT

0,000

0,035

 

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan One Way Anova, didapatkan nilai signifikansi p=0,00 (p<0,05) pada SGOT dan p=0,035 (p<0,005) pada SGPT yang berarti terdapat perbedaan kadar SGOT/SGPT yang bermakna pada minimal dua kelompok perlakuan yang berbeda, namun belum diketahui kelompok mana yang memiliki perbedaan kadar SGOT/SGPT yang bermakna. Oleh karena itu, untuk menentukan kelompok yang memiliki perbedaan kadar SGOT/SGPT yang bermakna maka dilakukan Uji Posthoc LSD.

Pada analisa data SGOT, dilakukan uji LSD antara kelompok kontrol negatif dan kelompok ekstrak untuk mengetahui perbandingan kadar SGOT mencit yang diberikan ekstrak alkaloid Clathria sp dengan yang mencit yang hanya diberikan aquades.  data hasil uji analisa LSD pada SGOT ditampilkan cdalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Uji LSD kadar SGOT kelompok yang diberikan aquades (K-) dengan kelompok yang diberikan Ekstrak alkaloid Spons Clathria sp (P1-4)

Kelompok

Nilai p

K-

K-

K-

K-

P1

P2

P3

P4

0,332

0,617

0,486

0,004

 

Keterangan:

K-        : Aquades 5ml

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

vs        (versus)          : Dibandingkan

Berdasarkan hasil analisa data yang tertera pada Tabel 4.5 didapatkan bahwa kelompok P1, P2 dan P3 memiliki nilai signifikasi p>0,05. Hal ini menunjukkan bahwa P1, P2 dan P3 tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan kelompok K-. Sebaliknya, didapatkan nilai signifikasi p<0,05 pada kelompok P4 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara kadar SGOT pada kelompok kontrol yang diberikan aquades dan kadar SGOT pada kelompok yang diberikan ekstrak alkaloid Spons laut Clathria sp dengan dosis 200 mg/KgBB. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Spons laut Clathria sp dengan dosis 50, 100, dan 150 mg/KgBB tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar SGOT mencit yang diinduksi Plasmodium berghei. Sebaliknya, pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp dengan dosis 200 mg/KgBB memiliki pengaruh yang signifikan (sig.<0,05) terhadap kadar SGOT mencit yang diinduksi Plasmodium berghei.

Dilakukan uji analisa LSD kembali untuk mengetahui perbandingan kadar SGOT mencit pada kelompok yang diberikan klorokuin (K+) dan kadar SGOT pada kelompok ekstrak. Hasil uji LSD disajikan dalam Tabel berikut:

Tabel 4.6 Hasil Uji LSD kadar SGOT kelompok yang diberikan klorokuin dengan kelompok yang diberikan Ekstrak alkaloid Spons Clathria sp

Kelompok perlakuan

Nilai p

K+ vs P1

K+ vs P2

K+ vs P3

K+ vs P4

0,000

0,002

0,002

0,376

Keterangan:

K+       : Klorokuin 5mg/KgBB

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

 

Berdasarkan hasil analisa data yang disajikan pada Tabel 4.6, dapat terlihat bahwa kelompok yang memiliki pengaruh yang tidak berbeda secara bermakna (sig.>0,05) dengan kelompok klorokuin adalah kelompok P4, yaitu kelompok ekstrak alkaloid Spons laut Clathria sp dengan dosis 300 mg/KgBB. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh analisa data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian ekstrak Clathria sp dosis 200 mg/KgBB terhadap kadar SGOT mencit yang diinfeksi plasmodium berghei, selain itu pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp memiliki efektivitas yang tidak berbeda bermakna dengan pemberian klorokuin.

Pada analisa data SGPT, dilakukan juga Uji LSD antara kelompok ekstrak dan kelompok kontrol (positif maupun negatif) untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp terhadap kadar SGPT mencit yang teinfeksi Plasmodium berghei. Hasil uji LSD ditampilkan dalam Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil Uji LSD kadar SGPT kelompok K- yang diberikan aquades dengan kelompok perlakuan yang diberikan Ekstrak alkaloid Spons Clathria sp.

Kelompok perlakuan

Nilai p

K- vs P1

K- vs P2

K- vs P3

K- vs P4

0,142

0,656

0,212

0,463

Keterangan:

K-        : Aquades 5ml

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

vs             (versus)          : Dibandingkan

Berdasarkan hasil analisa data LSD di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrol negatif tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan semua kelompok perlakuan (sig. >0,05). Sementara itu untuk membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol positif (K+), juga dilakukan analisa LSD. Hasil Uji LSD kadar SGPT ditampilkan dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Hasil Uji LSD kadar SGPT kelompok K+ yang diberikan klorokuin dengan kelompok perlakuan yang diberikan Ekstrak alkaloid Spons Clathria sp.

Kelompok perlakuan

Nilai p

K+     P1

K+     P2

K+     P3

K+     P4

0,087

0,009

0,037

0,018

Keterangan:

K+       : Klorokuin 5mg/KgBB

P1       : Ekstrak Clathria sp 50 mg/KgBB

P2       : Ekstrak Clathria sp 100 mg/KgBB

P3       : Ekstrak Clathria sp 150 mg/KgBB

P4       : Ekstrak Clathria sp 200 mg/KgBB

vs             (versus)          : Dibandingkan

Berdasarkan hasil analisa data,  hanya kelompok P1 (kelompok ekstrak dosis 50 mg/kgBB) yang memiliki efek yang tidak berbeda bermakna (sig> 0,05) dengan kelompok kontrol positif (klorokuin). Terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol positif dengan kelompok ekstrak dosis 100, 150 dan 200 mg/kgBB. 

 

Pembahasan

Sampai saat ini angka kejadian malaria masih sangat tinggi. Prevalensi penyakit malaria di Indonesia mencapai 300-500 juta kasus klinis setiap tahunnya.15 Diperkirakan sebanyak 60% penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Penyebaran daerah endemis di Indonesia sangat beragam dengan tinggi endemisitasnya yang berbeda-beda di tiap daerah.16 Insidensi malaria tertinggi terjadi pada daerah luar Jawa-Bali yaitu sekitar 16 per 1.000 penduduk pada tahun 1997 dan cenderung meningkat setiap tahunnya.7

Penyakit malaria jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel hati. Sel hati memiliki enzim intraselular yaitu SGOT dan SGPT.17 Ketika terjadi kerusakan pada sel hati, enzim ini akan dikeluarkan ke aliran darah dan dapat diukur melalui pemeriksaan laboratorium.

Pengobatan malaria merupakan salah satu upaya utama dalam program pemberantasan malaria. Namun kesulitan pemberantasan malaria saat ini disebabkan karena faktor resistensi dari parasit terhadap obat antimalaria dan faktor resistensi nyamuk anopheles terhadap insektisida.16 Kasus resistensi obat malaria semakin meningkat, bahkan kejadian resistensi sudah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia Oleh karena itu diperlukan beberapa obat alternatif lain yang dapat digunakan atau dikembangan sebagai obat antimalaria alternatif .7,17

Saat ini sudah banyak ditemukan senyawa alam yang berpotensi sebagai antimalaria, salah satunya adalah spons laut. Spons laut memiliki banyak senyawa bioaktif yang efektif sebagai antimalaria. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Murtihapsari et al tahun 2013, spons laut genus clathria sp memiliki senyawa antioksidan berupa alkaloid dapat menghambat perkembangan plasmodium dalam menginfeksi sel parenkim hati.10

 

Mekanisme Perbaikan Fungsi Hepar oleh Spons Laut Clatrhia sp

Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Spons merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan biotik maupun abiotic.16 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi metabolit Spons antara lain suhu, kekeruhan, kekuatan arus, cahaya, salinitas, serta faktor kimiawi lainnya. Walaupun dengan jenis Spons yang sama, akan tetapi jika masing – masing Spons hidup pada kondisi lingkungan yang berbeda, dapat memiliki keaktifan metabolit sekunder yang berbeda pula.18

Dua senyawa Clathria sp yang telah berhasil diisolasi diambil dari perairan wilayah Sulawesi Selatan antara lain golongan senyawa fenolik dan steroid yaitu β-sitosterol.19 Senyawa-senyawa ini memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan plasmodium secara in vitro.20 Spons laut juga memproduksi senyawa noresterpene, norditerpene peroxide acids dan beberapa senyawa lain seperti sigmosceptrellin-A, sigmosceptrellin-B yang memiliki efektivitas antiplasmodium.21

Ekstrak Alkaloid Clathria sp

Infeksi plasmodium

-

noresterpene, norditerpene peroxide acids

Intra-eritrosit

+

Ekstra-eritrosit (hepar)

Sistem imun

-

Infeksi hepar

+

-

SGOT/SGPT

Sistem imun

Manzamines

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.2 Mekanisme perbaikan fungsi hati oleh ekstrak alkaloid Spons Clathria sp.

Selain mekanismenya dalam menghambat infeksi plasmodium, senyawa yang terkandung di dalam ekstrak spons laut juga memiliki kemampuan dalam meningkatkan respon imun tubuh.22,23 Mekanisme ini dilakukan oleh manzamines, yang secara struktur merupakan group alkaloid jenis beta-carboline yang telah diisolasi dari beberapa spesies spons laut dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, seperti genus Clathria sp.22 Manzamines merupakan salah satu senyawa bioaktif dari spons yang memiliki efektivitas antimalaria yang paling menjanjikan.22,24

Spons laut banyak mengandung antioksidan berupa alkaloid, steroid, terpenoid, dan flavonoid.25 Senyawa antioksidan yang terdapat dalam spons laut memiliki kemampuan untuk meredam radikal bebas melaui mekanisme sebagai scavenger.26,27 Alkaloid dan flavonoid juga merupakan senyawa antioksidan yang dapat melawan radikal bebas di hepar melalui aktivitasnya sebagai scavenger.27

Beberapa penelitian lain juga telah membuktikan bahwa senyawa-senyawa ini tidak hanya berperan sebagai antimalaria, meningkatkan respon imun dan antioksidan, tetapi juga memiliki aktivitas sebagai agen anti inflamasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim (2011) disebutkan bahwa saponin dan alkaloid dapat menurunkan produksi TNF-α melalui penghambatan aktivasi NF-kβ.28 Selain itu, tanin, flavonoid dan triterpenoid juga dapat menghambat produksi sitokin tersebut.29

 

Pengaruh Pemberian Ekstrak Alkaloid Clathria sp terhadap Kadar SGOT dan SGPT

Kadar SGOT dan SGPT digunakan sebagai indikator kerusakan fungsi hati karena merupakan enzim yang dibebaskan dari dalam sel ketika terjadi cedera sel hati.17,30 SGPT paling banyak ditemukan di dalam sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk menilai kerusakan sel hati.31 Peningkatan SGOT dan SGPT terlihat jelas apabila nilai melebihi rentang nilai pada aktivitas normal untuk mencit yaitu 76-208 U/L untuk SGPT dan 30-314 U/L untuk SGOT.14

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar SGOT jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SGPT. Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya peningkatan kadar SGOT dibanding SGPT pada penelitian ini. Pertama, infeksi parasit plasmodium menimbulkan kerusakan terbesar pada organel sel karena berdasarkan distribusinya di tingkat sel, enzim SGOT lebih banyak terikat pada organel sel daripada sitoplasma. Sebaliknya, enzim SGPT lebih banyak terdapat pada sitoplasma sel hepar.32 Bila kerusakan sel hepar terutama mengenai membran sel, maka kenaikan SGPT lebih menonjol. Sebaliknya, jika infeksi plasmodium sebagian besar menyerang organel sel, maka kenaikan SGOT lebih menonjol.33 Kedua, peningkatan SGOT yang tinggi dapat dipengaruhi oleh infeksi plasmodium di organ lain (non-hati) yang juga memiliki enzim SGOT seperti jantung, otot rangka, otak dan ginjal, sehingga ketika terjadi infeksi sistemik SGOT akan dikeluarkan oleh beberapa organ yang mengalami kerusakan.33 Kecepatan pembersihan enzim hati dari plasma juga memberikan pengaruh terhadap perbedaan kadar SGOT dan SGPT pada saat pemeriksaan. Waktu paruh dari SGPT mencapai 47 jam, sedangkan SGOT  17 jam. Peningkatan SGOT yang tinggi mengindikasikan kerusakan yang akut dikarenakan aktivitas sitoplasma yang lebih besar di dalam hepatosit. Namun jika kerusakan hati terus berlangsung sampai lebih dari 48 jam, maka peningkatan SGPT akan lebih terlihat menonjol di bandingkan SGOT, karena SGPT memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan SGOT.33,34

Hasil analisa data menunjukan adanya penurunan jumlah SGOT dan SGPT pada kelompok ekstrak alkaloid Clathria sp dibandingkan dengan kelompok yang diberikan aquades (kelompok K-), yang berarti derajat kerusakan sel hati mencit lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok K-. Pada uji hipotesis mengunakan Oneway-Anova, didapatkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara kadar SGOT dan SGPT pada kelompok perlakuan dengan kelompok K-. Hal ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp terhadap kadar enzim SGOT dan SGPT mencit yang diinduksi plasmodium berghei.

Hail analisa data menunjukkan bahwa pada pemeriksaan SGOT, kelompok P4 (kelompok yang diberikan ekstrak alkaloid Clathria sp dengan dosis 200 mg/kgBB) memiliki perbedaan yang signifikan (p<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok K-. Berbeda dengan hasil yang didapatkan pada pemeriksaan SGPT, kelompok yang memiliki perbedaan bermakna (p<0,05) adalah kelompok P1 yaitu ekstrak alklaoid spons laut dengan dosis 50 mg/kgBB.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sharma et al (2014), ekstrak metanol Spons laut memiliki efektivitas dalam menurunkan kadar SGOT dan SGPT yang signifikan (p <0,001). Sejalan dengan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa terdapat penurunan kadar SGOT dan SGPT. Akan tetapi, setelah dilakukan uji varian satu arah (Oneway-Anova) perbedaan signifikan hanya terjadi pada kelompok P4 pada SGOT dan P1 pada SGPT, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perbedaan hasil ini dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain perbedaan lokasi pengambilan Spons dan jenis metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Spons.18

Peneliti menduga bahwa penurunan kadar SGOT dan SGPT pada penggunaan ekstrak alkaloid dalam penelitian ini kemungkinan terjadi melalui tiga mekanisme utama, yaitu penghambatan infeksi plasmodium ke dalam sel hati dan peningkatan respon imun hewan coba serta melalui mekanisme scavenger dalam antioksidan dan mekanisme antiinflamasi oleh senyawa alklaoid dan terpenoid.

 

Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain: 1) Tidak dilakukan penelitian pendahuluan terkait jenis alkaloid yang terdapat pada ekstrak alkaloid Clathria sp yang digunakan. 2) Tidak dilakukannya penelitian kualitatif maupun kuantitatif untuk mengukur konsentrasi alkaloid di dalam ekstrak yang digunakan, sehingga tidak diketahui secara pasti konsentrasi alkaloid yang terkandung dalam ekstrak yang digunakan. 3) Pada penelitian ini hanya dilakukan pengukuran terhadap enzim SGOT dan SGPT, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan enzim hati lainnya untuk melihat derajat kerusakan maupun perbaikan sel hati secara akurat. 4) Ruangan isolasi dan perawatan mencit selama pelaksanaan masih disatukan dalam satu ruangan dengan hewan coba penelitian lain sehingga menimbulkan faktor stress pada mencit.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengukuran kadar SGOT dan SGPT serta analisa statistik yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak alkaloid Clathria sp memberikan pengaruh terhadap kadar SGOT dan SGPT mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Hasil uji statistik Oneway-Anova menunjukkan adanya perbedaan kadar SGOT dan SGPT yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada pemeriksaan SGOT hanya kelompok P4 (ekstrak alkaloid dosis 200 mg/kgBB) yang memiliki perbedaan signifikan (p<0,05) dengan kelompok kontrol negatif. Pada pemeriksaan Posthoc LSD untuk SGPT, hanya kelompok P1 (ekstrak alkaloid dosis 50 mg/kgBB) yang memiliki perbedaan signifikan dengan kelompok kontrol negatif.

 

Saran

Adapun saran yang dapat dipertimbangkan untuk penelitian lebih lanjut adalah: 1) Perlu dilakukan penelitian pendahuluan terkait jenis alkaloid yang terdapat pada ekstrak alkaloid Clathria sp yang digunakan. 2) Perlu dipertimbangkan untuk melakukan perhitungan kadar alkaloid secara kualitatif dan kuantitatif. Hal ini bertujuan untuk mengetahui secara pasti kadar alkaloid yang digunakan. 3) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memperhatikan dosis, lama waktu, jumlah sampel dan pemeriksaan fungsi hepar dengan pemeriksaan histopatologi maupun pemeriksaan enzim lain seperti γ-glutamiltransferase (GGT), Alkalin Fosfatase (ALP) dan Laktat Dehidrogenase (LD) untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. 4) Pada penelitian selanjutnya, diharapkan ruangan isolasi dan perawatan hewan coba mencit tidak digunakan untuk merawat hewan coba yang lain, terutama hewan coba yang diinfeksikan penyakit infeksius.

 

Daftar Pustaka

1.    Shankar R, Deb S, Sharma B K. Antimalarial plants of northeast India: An overview. J Ayurveda Integr Med 2012;3:10-6

2.    Depkes RI. Pedoman Penatalaksana Kasus Malaria di Indonesia.  http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/Pedoman_Penatalaksana_Kasus_Malaria_di_Indonesia.pdf. Diakses tanggal 10 Maret 2015

3.    Zein, U. Perbandingan Efikasi Antimalaria Ekstrak Herba Sambiloto (Andrographis paniculata ness) Tunggal dan Kombinasi Masing-Masing dengan Artesunat dan Klorokuin pada Pasien Malaria Falsiparum Tanpa        Komplikasi. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7404/1/09E00226.pdf. Diakses tanggal 10 Maret 2015

4.    Jha S, Shrestha S, Gole SG, & Deep G. Assessment of serum bilirubin and hepatic enzymes in malaria patiens. Int J of Biomed and Advance Reseacrh IJBAR 2014; 5(03)

5.    Hiswani. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara: 2008.

6.    Harijanto, Paul. Eliminasi Malaria pada Era Desentralisasi.  http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN%20 mALARIA.pdf. Diakses 9 Maret 2015

7.    Tjitra E. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisinin. Bul Penel Kesehatan, 2005: Vol. 33(2):53-61.

8.    Suparno. Kajian Bioaktif Spons Laut (Porifera: Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Karang Indonesia Dalam Dibidang Farmasi. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor: 2005.

9.    Carrol, J and Jenna Arruda. Uses Of Marine Compound.  http://digitalcommons.calpoly.edu. 2009. Diakses 09 September 2014.

10. Murtihapsari, Parubak AS, Mangallo B, Ekasari W, Asih PB & Lestari AI. Isolation and Presence of Antimalarial Activities of Marine Sponge Xestospongia sp. Indo. J. Chem., 2013, 13 (3), 199 - 204

11. Usman, H., Bahar, R., Yohanes, E., Rahmawaty, Ahmad, A. Isolation, Chemical Characterization, And Bioactivity Of Secondary Metabolites With Polar Constituents Of Petrossian Alfiani Sponges. Universitas Hasanuddin: 2014

12. Alejandro MS, Mayer, Virgina, KB Lehmann. Marine pharmacology in 1998: Marine compounds with Antibacterial, Anticoagulent, Antifungal, Antinflammatory, Anthelminitic, Antiplatelet and Antiviral activities; with actions on the cardiovascular, endocrine, immune, and nervous systems: and other Miscellaneous mechanisms of action. The Pharmacol. 2000: (42) 62-69.

13. Muhtadi, Suhendi, A., Nurcahyanti,  & Sutrisna EM. Uji Praklinik Antihiperurisemia Secara In Vivo Pada Mencit Putih Jantan Galur Balb-C Dari Ekstrak Daun Salam (Syzigium Polyanthum Walp) Dan Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.). J Biomedika 2014;2:6-1

14. Arwati, H. Vaksin Malaria: Mengapa Sampai Saat Ini Belum Juga diteriman?.  http://www.fk.unair.ac.id/publikasi/lingua/XXXII/5.asp. Diakses 09 april 2015

15. Azizah, N., Wungu, CDK., & Viradella J. Potensi Propolis pada Sarang Lebah Madu dalam Menghambat Infeksi P. falciparum sebagai Terapi Penunjang Malaria Tropikana. J of Indo Med Student Ascociation 2010; Vol I(01):36-42

16. Wiadnya, IBR. Perbedaan kadar sgot (serum glutamic oxaloacetic transaminase) Pada penderita malaria falciparum dan malaria vivax. Media Bina Ilmiah; 2013: 1978-3787

17. Amir, I. Dan Budiyanto, A. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oceana, 1996: 21(2):15-31.

18. Rachmat, R. Spons Indonesia Kawasan Timur : Keragaman, distribusi, Kelimpahan, dan kandungan Metabolit Sekundernya. Pusat penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta: 2007.

19. Konig GM, Wright AD, Angerhofer CK (1996). Novel potent antimalarial diterpene isocyanates, isothiocyanates, and isonitriles from the tropical marine sponge Cymbastela hooperi. J. Org. Chem. 61: 3259-3267.  http://www.pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jo952015z diakses tanggal 9 april 2015

20. Sayed KA, Haman MT, Hashish NE, Shier WT, Kelly M, & Khan AA. Antimalarial, antiviral, and antitoxoplasmosis norsesterpene peroxide acids from the Red Sea sponge Diacarnus erythraeanus. J. Nat. Prod. 64: 522–4.  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11325240 diakses tanggal 13 April 2015

21. Ravichandran, S., Kathiresan K., & Balaram H. Anti-malarials from marine sponges Mini Review. Biotechnol. Mol. Biol. Rev 2007; Vol 2 (2): 033-038

22. Ang KK, Holmes MJ, Kara UAK Immune-mediated parasite clearance in mice infected with Plasmodium berghei following treatment with manzamine A. Parasitol. Res. 87: 715-721.  http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11570556 Diakses tanggal 10 November 2015

23. Murti, Y B. Isolation and structure elucidation of bioactive secondary metabolites from Sponss collected at Ujungpandang and in the Bali Sea, Indonesia: 2006.

24. Warbung, Y.Y., Wowor, V.N.S., Posangi, J. Daya Hambat Ekstrak Spons Laut Callyspongia sp terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus.  http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/egigi/article/view/3151. Last Update 2011. Diakses tanggal 15 April 2015

25. Topcu G, Ertas A, Kolak U, Ozturk M, Ulubelen A.Antioxidant activity tests on novel triterpenoids from Salvia macrochlons. Arkivoc, 2007 (7): 195-208.

26. Kim S, Shim S, Choi DS, Kim JH, Kwon YB, Kwon J. Modulation of LPS-stimulated astroglial activation by ginseng total saponins. J Ginseng Res, 2011: (35) 80-1

27. Erlejman AG, Jaggers G, Fraga CG, Oteiza PI. TNF alpha-induced NF-kappaB activation and cell oxidant production are modulated by hexameric procy-anidins in Caco-2 cells. Arch Biochem Biophys, 2008; 476(2):186-195.

28. Sacher RA, Mc Pharson RA. Uji Fungsi Hati. Dalam: Tinjauan klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran (EGC): 2006.

29. Wibowo, WA., Maslachah, L., & Bijanti R. 2008. Pengaruh Pemberian Perasan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) Terhadap Kadar SGOT dan SGPT Tikus Putih (Rattus norvegicus) dengan Diet Tinggi Lemak. Jurnal Veterineria Medika Universitas Airlangga, 2008 (1): 1-5

30. Carl A, Edward R, & David E. Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics II. 4nd ed. 2007. USA: Saunders Elsevier

31. Wardhani A. 2010. Pengaruh Pemberian Ekstrak Valerian (Valeriana officinalis) terhadap Gambaran Mikroskopis Hepar dan Kadar SGOT Tikus Wistar. Universitas Diponegoro, Semarang

32.  Richard A, Matthew R. Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 21th ed. 2007. USA: Saunders Elsevier.


 

 

 

 

 

Lampiran 1. Surat Persetujuan Ethical clearance